Sabtu, 14 Oktober 2017

METAFISIKA VIBRASI SAPTO MURDOWO


Pameran karya Sapto yang ditata dalam ruang sejuk oleh teman-temannya bertajuk ‘vibrasi’. Nuansa yang berdekatan dengan warna identik rasa yang diberikan Sapto Murdowo (Almarhum) seolah ingin bicara tentang the Miracle of Vibration. Gelombang vibrasi spiritual yang dia lakukan ketika mengobjektivikasi hidup; hidup adalah perjalanan gelombang rasa, pikir dan hasrat (krenteg-Bhs.Jawa) menguasai dunia sekitar maupun dirinya: vibrasi rumah tangga, vibrasi seputar pantry kampus atau dunia seni mahasiswa pada umumnya.

Dari Pantry ke Vibrasi
Sapto Murdowo yang meninggalkan vibrasi rasa kepada kita; dalam hitungan hari, kini telah seratus hari menghadap sang Khalik. Ada patikel kuantum yang masih tersisa dalam magnit emosi. Buktinya, pantry itu lengang; tahu sumedang pun relatif tidak mampir karena pelanggan satu ini sudah berhenti memesan. Kelengangan ini terasa pada karya-karya akhir Sapto Murdowo menorehkan di atas kanvas. Terasa sekali hasrat mengungkapkan ‘sudah tidak sekeras goresan awalnya’; 15 tahun yang lalu. Goresan Sapto meleleh ketika berusaha mengobjektivikasi ‘Suasana Desa Cangkringan’ yang dimotori Pak Heri (D Heri Purnomo); antara melihat kenyataan dan menyimbolkan vibrasi sudah semakin mundur. Walaupun emosi artistiknya masih mampu dibawa ketika mengungkapkan vibrasi desa wisata ‘Kembang Arum’, namun tidak se arum bunganya. Tanda layu sudah ditunjukkan dengan beberapa karya akhir.
Adakah tanda itu sebagai ikon karya vibrasi sesudahnya?
Photo imaging dilakukan dengan menggunggah wajah realis hasil digital printing sebagai toroh kelayuannya. Beberapa brush stroke pada backgorund memberikan nuansa yang lain. Sorot pandang mata diantara senyum yang dipaksa terhadap jangkauan ke depan sudah mulai dirasakan sebagai titik kulimnasi menurun. Warna spring leaf green mendasarkan pada foto wajah Sapto Murdowo semakin menampakkan kelayuannya, walaupun ingin memudakan usianya dengan warna. Sesekali warna yang dipilih untuk dikuaskan terasa belum pas: keinginannya ‘masih tetap muda’ dalam karya namun kondisi tidak berpelukan dengan hasrat dirinya. Tampak spontanitas warna yang segar ternyata tetap tersurutkan oleh warna burn sienna. Di situlah Sapto Mulai menyadari atas kekurangan energi fisik menguatkan semangatnya untuk tetap melukis. Akhir-akhir karyanya itu dikibaskan dalam patung imaginasi, bahkan celengan antik itu dipajang sebagai bagian usaha memelihara ekspresinya. Tenagan yang enerjetik sudah mulai surut, maka mengalihkan ekspresi estetika kepada visi tiga dimensi. Namun ekpresi spontan itu masih memberi warna khas Abstrak-Ekspresionistik yang terikat oleh garis-garis berirama horizontal (horizontal rhytm).
Namun suasana ‘vibrasi’ tetap diangkat sebagai tajuk berkarya Sapto Murdowo; dirinya ingin menyanyikan keramaian pantry Seni Rupa, yang setiap pagi diisi oleh minuman kemasan Pak Heri dan Pak Wayan Suardana. Berdua ini memanjakan Sapto Murdowo memberi aksentuasi vibrasi pantry dalam lukisan-lukisan aklhir.
Nyanyian Vibrasi
Vibrasi sendiri sebenarnya adalah suatu getaran bolak-balik dalam suatu interval waktu tertentu. Getaran ini merupakan gerak dari sebuah osilasi benda terhadap gaya gerak tersebut; diasumsikan bahwa semua benda atau objek itu mempunyai massa dan massa tersebut bersifat elastis. Elastisitas ini hadir dari getar dan gelombang suara dan oleh Sapto Murdowo ingin diangkat menjadi vibrasi gelombang bolak-balik ini dalam karya seni lukisnya. Seperti getaran suara yang ditimbulkan oleh tabuhan benda (artifisial) maupun lantunan alami seorang penyanyi. Sapto Murdowo memang belum pernah menyanyikan lagu-lagu Beethoven atau lagu lama seperti dinyanyikan oleh Pak Sigit (Sigit Nung) tapi mencoba menerjemahkan suara Sigit dalam lukisan-lukisan yang cerah dan teridentifikasi vibrasinya. Sejak di kampus mBarek, Sapto Murdowo yang dekat dengan Sigit Nung, Djoko Marutho selalu berkomentar tentang lagu. Komentar itu ada dalam lukisannya.
Nada kuat yang disimbolkan dengan nuansa aneka warna yang dikemas berdasarkan teori dominasi oleh Wucius wong (Two Dimensional Design ), terasa sekali. Ekspresinya yang meluap masih dikontrol oleh otaknya ketika menuangkan warna dan garis. Bahkan sebagian mahasiswa menawarkan idenya ‘Pak Sapto nglukis dengan prinsip desain’. Jadi,  ekspresinya masih menimbang tehadap sifat osilasi suara dengan prinsip penataan rupa dengan hati-hati. Dia ikuti kata-kata Beethoven: music is the mediator between the spiritual and the sensual life.
Menengok karya Sapto Murdowo semasa jaya di kampus mBarek, menampakkan kegarangan menguasai kanvas, taferil sepanjang 3 (tiga) meter dilahap dengan bumbu warna dan olahan bentuk-bentuk yang diakhiri dengan garis memberikan gambaran sangat gagah. Sebagian vocal point  itu dilepaskan melalui garis-garis yang bernuansa untuk walang sehingga finishing touch nya terasa kawengku karono sae (pemberian kontur yang baik). Kekuatan warna ini memberikan ciri Sapto Murdowo akan mengukur gemlombang magnetik sebagai teori kuantum. Dimana partikel yang paling dalam sebuah susunan atom teruraikan dalam boson madya. Teori kuantum menyebutkan bahwa bentuk gelombang energi sebagai paket-paket kecil berbilangan bulat. Gelombang spiritual Sapto ingin dinyatakan dalam masa kuantum tersebut melalui kolaborasi teknik sapuan dan goresan garis untuk walang (gigi belalang) yang membuat bentuk besarnya yaitu bentuk geometrikal.

Gejala nano dalam Vibrasi Sapto Murdowo
Ruang elektromagnetik memandang gelombang [energi] sebagai satuan-satuan kecil yang bulat. Satuan antara unur organik (hidup seperti pikran manusia) dengan unsur an-organic unsur visual yang terlihat oleh mata(baca teori teori kuantum); teori ini memandang setiap bentuk gelombang energi sebagai paket-paket kecil berbilangan bulat dan sebagai partikel. Kuantum pembawa gravitasi masih belum berhasil ditampakkan, karena membutuhkan energi yang terlalu besar untuk bisa melihatnya. Secara hipotetis, kuantum ini dianggap ada dan dinamai graviton. Lebih lanjut partikel yang halus tersebut digunakan sebagai sarana mengatur kelangsungan alam semesta. Proses kuantum ini yang dipelajari Sapto Murdowo membahas nano partikel dengan satuan patafisika ingin menggambarkan partikel nano menjadi partikel warna. Beberapa lukisan yang telah terakumulasi dari gelombang cahaya warna ini Sapto Murdowo membuat bentuk impresif seperti partikel nano yang halus. Patafisika yang nantinya menghadirkan berpikir metafisik ini ada dalam embriyo bentuk yang tersamarkan oleh goresan untuk walang. Kontur ini sebagai gelombang nano yang lebih memberi nuansa ‘setengah jadi’.
Tata letak selalu dikontrol sehingga prinsip desain tetapi menjadi acuan: jika komposisi adalam paduan unsur visual, maka Sapto mencoba memadukan unsur pikiran dan rasa untuk memperoleh gagasan patafisika tadi. Bentuk unik akhirnya bisa muncul dan ano-form menjadi bentuk yang abstrak. Sebenarnya penerjemahan partikel nano oleh Sapto ini dipadu dengan halus, oleh karenanya secara metafisik bentuk-bentuk realis hanya diambil presumptionnya. Mekanika kuantum ini dipelajari Sapto untuk menuntaskan Pasca Sarjana di Institut Teknologi Bandung. Ada kemungkinan diterjemahkan ke dalam bentuk visual dan berusaha menembus hubungan pikiran dan rasa tercurahkan dalam karya. Seperti dikatakan oleh Gamow bahwa ketika membuat karya seni, Sapto mengubah emisi partikel menjadi pancaran ide vibrasi Selanjutnya ditambahkan oleh  fisikawan Ronald Gurney dan Edward:
Segala sesuatu di alam semesta ini terdiri dari getaran energi pada frekuensi yang berbeda. Bahkan hal-hal yang terlihat padat terdiri dari getaran energi pada tingkat kuantum, termasuk Anda juga. Apakah Anda ingin memiliki hubungan yang lebih kuat dengan jiwa, pikiran lebih positif, keadaan emosional lebih baik, dan meningkatkan kesehatan fisik? Jika demikian, maka Anda perlu untuk meningkatkan vibrasi Anda.’
Inilah pandangan metafisik vibrasi karya Sapto Murdowo yang mengakhiri hidupnya dengan atomisasi dalam partikel pikiran dan rasa. Apa yang terlihat dalam gagasan visual ini sebenarnya adalah patafisika Sapto dalam proses simbolisasi bentuk-bentuk partikel spiritual (the miracle of Vibration)  yang dipadu dengan kemampuan menguasa unsur visual berkarya seni rupa. Semoga karya yang tidak mungkin disambung lagi oleh Sapto Murdowo ini sebagai gambaran seberapa kuat seorang pendidik seni tetap mempertahankan aspek “seni’ baik teori mapun praktek untuk menemukan dirinya sebagai pendidik seni sejati, tidak mungkin pendidik seni tidak bisa berkarya.
Akhirnya, ungkapan tulisan ini bukanlah sebuah kritik dan kuratorial murni, namun sebagai refleksi diantara para pendidik seni yang akan menjelaskan ruang dan waktu sebuah karya seni dari sudut pandang metafisika. Tulisan ini hanya sebagai tamu yang melihat sebentar sang tuan rumah muncul menyilahkan penulis bercerita seperti kata Nathan: ‘Criticism is the art wherewith a critic tries to guess himself into share of the artist’s fame.
Selamat dan Sukses buat teman-teman yang sudah mengemas lukisan untuk dipamerkan sebagai bagian dari kolaborasi partikel hidup dan statisnya Vibrasi Sapto Murdowo, semoga memberi berkah kepada semuanya. Amin.


                                                                                                Sleman, 14 Oktober 2017

Hajar Pamadhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar