Pameran karya Sapto yang ditata dalam ruang sejuk oleh teman-temannya
bertajuk ‘vibrasi’. Nuansa yang berdekatan dengan warna identik rasa yang
diberikan Sapto Murdowo (Almarhum) seolah ingin bicara tentang the Miracle of Vibration. Gelombang vibrasi spiritual yang dia lakukan ketika mengobjektivikasi hidup;
hidup adalah perjalanan gelombang rasa, pikir dan hasrat (krenteg-Bhs.Jawa) menguasai dunia sekitar maupun dirinya: vibrasi rumah tangga, vibrasi
seputar pantry
kampus atau dunia seni mahasiswa pada
umumnya.
Dari Pantry
ke Vibrasi
Sapto
Murdowo yang meninggalkan vibrasi rasa kepada kita; dalam hitungan hari, kini
telah seratus hari menghadap sang Khalik. Ada patikel kuantum yang masih tersisa
dalam magnit emosi. Buktinya, pantry itu
lengang; tahu sumedang pun relatif tidak mampir karena pelanggan satu ini sudah
berhenti memesan. Kelengangan ini terasa pada karya-karya akhir Sapto Murdowo
menorehkan di atas kanvas. Terasa sekali hasrat mengungkapkan ‘sudah tidak
sekeras goresan awalnya’; 15 tahun yang lalu. Goresan Sapto meleleh ketika
berusaha mengobjektivikasi ‘Suasana Desa Cangkringan’ yang dimotori Pak Heri (D
Heri Purnomo); antara melihat kenyataan dan menyimbolkan vibrasi sudah semakin
mundur. Walaupun emosi artistiknya masih mampu dibawa ketika mengungkapkan vibrasi
desa wisata ‘Kembang Arum’, namun tidak se arum bunganya. Tanda layu sudah
ditunjukkan dengan beberapa karya akhir.
Adakah
tanda itu sebagai ikon karya vibrasi sesudahnya?
Photo imaging dilakukan dengan menggunggah
wajah realis hasil digital printing sebagai
toroh kelayuannya. Beberapa brush stroke pada
backgorund memberikan nuansa yang
lain. Sorot pandang mata diantara senyum yang dipaksa terhadap jangkauan ke
depan sudah mulai dirasakan sebagai titik kulimnasi menurun. Warna spring leaf green mendasarkan pada foto
wajah Sapto Murdowo semakin menampakkan kelayuannya, walaupun ingin memudakan
usianya dengan warna. Sesekali warna yang dipilih untuk dikuaskan terasa belum
pas: keinginannya ‘masih tetap muda’ dalam karya namun kondisi tidak berpelukan
dengan hasrat dirinya. Tampak spontanitas warna yang segar ternyata tetap
tersurutkan oleh warna burn sienna. Di
situlah Sapto Mulai menyadari atas kekurangan energi fisik menguatkan
semangatnya untuk tetap melukis. Akhir-akhir karyanya itu dikibaskan dalam
patung imaginasi, bahkan celengan antik
itu dipajang sebagai bagian usaha memelihara ekspresinya. Tenagan yang
enerjetik sudah mulai surut, maka mengalihkan ekspresi estetika kepada visi
tiga dimensi. Namun ekpresi spontan itu masih memberi warna khas Abstrak-Ekspresionistik
yang terikat oleh garis-garis berirama horizontal (horizontal rhytm).
Namun
suasana ‘vibrasi’ tetap diangkat sebagai tajuk berkarya Sapto Murdowo; dirinya
ingin menyanyikan keramaian pantry Seni
Rupa, yang setiap pagi diisi oleh minuman kemasan Pak Heri dan Pak Wayan
Suardana. Berdua ini memanjakan Sapto Murdowo memberi aksentuasi vibrasi pantry dalam lukisan-lukisan aklhir.
Nyanyian Vibrasi
Vibrasi sendiri sebenarnya adalah suatu getaran bolak-balik dalam suatu interval waktu
tertentu. Getaran ini merupakan gerak dari sebuah osilasi benda terhadap gaya gerak tersebut; diasumsikan bahwa semua
benda atau objek itu mempunyai massa dan massa tersebut bersifat elastis. Elastisitas
ini hadir dari getar dan gelombang suara dan oleh Sapto Murdowo ingin diangkat menjadi
vibrasi gelombang bolak-balik ini dalam karya seni lukisnya. Seperti getaran
suara yang ditimbulkan oleh tabuhan benda (artifisial) maupun lantunan alami
seorang penyanyi. Sapto Murdowo memang belum pernah menyanyikan lagu-lagu
Beethoven atau lagu lama seperti dinyanyikan oleh Pak Sigit (Sigit Nung) tapi
mencoba menerjemahkan suara Sigit dalam lukisan-lukisan yang cerah dan
teridentifikasi vibrasinya. Sejak di kampus mBarek, Sapto Murdowo yang dekat
dengan Sigit Nung, Djoko Marutho selalu berkomentar tentang lagu. Komentar itu
ada dalam lukisannya.
Nada
kuat yang disimbolkan dengan nuansa aneka warna yang dikemas berdasarkan teori dominasi
oleh Wucius wong (Two Dimensional Design ),
terasa sekali. Ekspresinya yang meluap masih dikontrol oleh otaknya ketika
menuangkan warna dan garis. Bahkan sebagian mahasiswa menawarkan idenya ‘Pak
Sapto nglukis dengan prinsip desain’. Jadi, ekspresinya masih menimbang tehadap sifat
osilasi suara dengan prinsip penataan rupa dengan hati-hati. Dia ikuti
kata-kata Beethoven: music is the
mediator between the spiritual and the sensual life.
Menengok
karya Sapto Murdowo semasa jaya di kampus mBarek, menampakkan kegarangan
menguasai kanvas, taferil sepanjang 3 (tiga) meter dilahap dengan bumbu warna
dan olahan bentuk-bentuk yang diakhiri dengan garis memberikan gambaran sangat
gagah. Sebagian vocal point itu dilepaskan melalui garis-garis yang
bernuansa untuk walang sehingga finishing touch nya terasa kawengku karono sae (pemberian kontur
yang baik). Kekuatan warna ini memberikan ciri Sapto Murdowo akan mengukur
gemlombang magnetik sebagai teori kuantum. Dimana partikel yang paling dalam
sebuah susunan atom teruraikan dalam boson
madya. Teori kuantum menyebutkan bahwa bentuk gelombang energi sebagai
paket-paket kecil berbilangan bulat. Gelombang spiritual Sapto ingin dinyatakan
dalam masa kuantum tersebut melalui kolaborasi teknik sapuan dan goresan garis untuk walang (gigi belalang) yang
membuat bentuk besarnya yaitu bentuk geometrikal.
Gejala nano dalam Vibrasi Sapto Murdowo
Ruang elektromagnetik memandang gelombang [energi] sebagai
satuan-satuan kecil yang bulat. Satuan antara unur organik (hidup seperti
pikran manusia) dengan unsur an-organic unsur visual yang terlihat oleh mata(baca
teori teori kuantum); teori ini memandang setiap bentuk gelombang energi
sebagai paket-paket kecil berbilangan bulat dan sebagai partikel. Kuantum
pembawa gravitasi masih belum berhasil ditampakkan, karena membutuhkan energi
yang terlalu besar untuk bisa melihatnya. Secara hipotetis, kuantum ini
dianggap ada dan dinamai graviton. Lebih lanjut partikel yang halus tersebut digunakan
sebagai sarana mengatur kelangsungan alam semesta. Proses kuantum ini yang
dipelajari Sapto Murdowo membahas nano partikel dengan satuan patafisika ingin menggambarkan partikel
nano menjadi partikel warna. Beberapa lukisan yang telah terakumulasi dari
gelombang cahaya warna ini Sapto Murdowo membuat bentuk impresif seperti partikel nano yang halus. Patafisika yang nantinya menghadirkan
berpikir metafisik ini ada dalam embriyo bentuk yang tersamarkan oleh goresan untuk walang. Kontur ini sebagai
gelombang nano yang lebih memberi nuansa ‘setengah jadi’.
Tata letak selalu dikontrol sehingga prinsip desain tetapi
menjadi acuan: jika komposisi adalam paduan unsur visual, maka Sapto mencoba
memadukan unsur pikiran dan rasa untuk memperoleh gagasan patafisika tadi. Bentuk unik akhirnya bisa muncul dan ano-form menjadi bentuk yang abstrak.
Sebenarnya penerjemahan partikel nano oleh Sapto ini dipadu dengan halus, oleh
karenanya secara metafisik bentuk-bentuk realis hanya diambil presumptionnya. Mekanika kuantum ini dipelajari Sapto untuk menuntaskan Pasca
Sarjana di Institut Teknologi Bandung. Ada kemungkinan diterjemahkan ke dalam
bentuk visual dan berusaha menembus hubungan pikiran dan rasa tercurahkan dalam
karya. Seperti dikatakan oleh Gamow bahwa ketika membuat karya seni, Sapto
mengubah emisi partikel menjadi pancaran ide vibrasi Selanjutnya ditambahkan
oleh fisikawan Ronald Gurney dan Edward:
‘ Segala sesuatu di alam semesta ini
terdiri dari getaran energi pada frekuensi yang berbeda. Bahkan hal-hal yang
terlihat padat terdiri dari getaran energi pada tingkat kuantum, termasuk Anda
juga. Apakah Anda ingin memiliki hubungan yang lebih kuat dengan jiwa, pikiran
lebih positif, keadaan emosional lebih baik, dan meningkatkan kesehatan fisik?
Jika demikian, maka Anda perlu untuk meningkatkan vibrasi Anda.’
Inilah pandangan metafisik vibrasi karya Sapto Murdowo yang
mengakhiri hidupnya dengan atomisasi dalam partikel pikiran dan rasa. Apa yang
terlihat dalam gagasan visual ini sebenarnya adalah patafisika Sapto dalam
proses simbolisasi bentuk-bentuk partikel spiritual (the miracle of Vibration) yang dipadu dengan kemampuan menguasa unsur
visual berkarya seni rupa. Semoga karya yang tidak mungkin disambung lagi oleh
Sapto Murdowo ini sebagai gambaran seberapa kuat seorang pendidik seni tetap
mempertahankan aspek “seni’ baik teori mapun praktek untuk menemukan dirinya sebagai
pendidik seni sejati, tidak mungkin pendidik seni tidak bisa berkarya.
Akhirnya,
ungkapan tulisan ini bukanlah sebuah kritik dan kuratorial murni, namun sebagai
refleksi diantara para pendidik seni yang akan menjelaskan ruang dan waktu
sebuah karya seni dari sudut pandang metafisika. Tulisan ini hanya sebagai tamu
yang melihat sebentar sang tuan rumah muncul menyilahkan penulis bercerita
seperti kata Nathan: ‘Criticism is the
art wherewith a critic tries to guess himself into share of the artist’s fame.
Selamat
dan Sukses buat teman-teman yang sudah mengemas lukisan untuk dipamerkan sebagai
bagian dari kolaborasi partikel hidup dan statisnya Vibrasi Sapto Murdowo,
semoga memberi berkah kepada semuanya. Amin.
Sleman,
14 Oktober 2017
Hajar Pamadhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar