I would like to suggest here that drawing serves as the necessary base or
core for art and is the most direct means of studying the theoretical basis of
aesthetic experience.( Thomas Buser, 2015)
Pendahuluan
Pandangan filsafat yang dimaksudkan pada judul di
atas adalah sebuah cara berpikiran kritis; membongkar objek dari tiga pikiran:
esensi, substansi dan radikal. Pandangan kritis ini menempatkan objek dalam
triperkara, epistemologi, ontologi dan aksiologi. Objek yang dipandang dalam
ranah epistemologi diretas kulit luarnya dan dikupas isi maknanya sehingga
kupasan itu memberi esensi makna yang sesungguhnya. Jadi sebuah kupasan
filsafat (epistemologi) akan memberikan makna sesungguhnnya objek tersebut.
Namun ketika makna terungkap dari suatu objek seseorang akan menanyakan
‘mengapa hal ini bisa bermakna’ maka persoalan ontologi akan menjawabnya.
Demikian pula ketika makna itu telah terungkap seberapa besar kemaknaan itu
bernilai guna pada manusia (aksiologi).
Drwaing dikupas secara filsafat dalam tulisan ini ingin
mencoba mencari arti sesungguhnya, baik dari segi perkataan(etimologi) maupun
terminologi. Melalui penelusuran makna radikal (mencari haikat kenyataan)
menemukan makna untuk pendidikan (aksiologi). Kupasan yang lebih dalam dilihat
dari sejarah kehadiran (metafisika) dan menjadikan keberadaan drawing sebagai dasar berkarya dan
berpikir tentang hidup (ontologi). Untuk mengungkapkan substansi drawing ini konteks kehidupan dilandasi
oleh pengetahuan lain agar menemukan persoalan drawing dalam kehidupan ilmu, pengetahuan dan kehidupan manusia.
Sebab sampai sekarang drawing hanya
dipandang sebagai gambar yang ‘hanya dilihat, bukan diketahui’.
Persoalan
Objektivikasi Drawing
Ketika Plato merujuk gambar yang sempurna adalah
gambar yang mampu mereprsentasikan objek secara nyata. Sebagai sebuah
representasi, gambar harus menujukkan esensi dan substansi objek (Hajar
Pamadhi, 2012: 54). Objektivikasi menjadi terfokus kepada material yang
mempunyai kesamaan ide dengan objeknya (Hauskeller, 2015: 10). Menandakan
hadirnya persepsi ‘seni realistik’. Kondisi ini seirng dengan perkembangan
berpikir kritis, karena ukuran kesempurnaan berpikir adalah kenyataan.
Kenyataan atau realistik tersebut menghendaki alat atau instrumen untuk
mengukur keindahan suatu objek adalah ‘mata’. Disinilah kehadiran estetika
kanonik atau estetika keterukuran, karena instrumen objektif akan menghasilkan
keindahan objektif. Keindahan objektif yang dimaksudkan adalah keindahan yang
dapat diamati, dinilai serta dipandang sama oleh semua orang yang melihat.
Itulash hadirnya pameo ‘Ars Imitatur
Naturam’, seni harus mirip dengan objek alaminya. Tentu saja rujukan utama adalah’Drawing’.
Drawing menjadi bagan dasar orang
berpengetahuan karena di dalam drawing
hadir pengetahuan lain. Dari sinilah
orang mulai mengembangkan logika (berpikir filsafat krits) terhadap segala
macam objek. Melalui triperkara filsafat
(epistemologi, ontologi dan aksiologi) akan menemukan pengetahuan lain.
Misalnya pendekatan secara ontologis (hakikat substansi): drawing itu hakikatnya adalah mengamati secara mendetail suatu
bentuk dan akan menyangkutkan pemikiran dari sudut pandang ilmu dan pengetahuan
yang lain terhadap pengamatan wajah seorang wanita (keplastisan tubuh manusia -
dalam drawing models) menghadirkan
pertanyaan:
-
Mengapa
wanita mempunyai wajah cantik? (1)
-
Kemudian:
apakah cantik itu? (2) Apa karena seseorang yang tertarik atau memang wajah
tersebut mempunyai elemen visual yang menghadirkan cantik? (3)
-
Apakah
semua orang yang melihat akan merasakan cantiknya paras seorang wanita.(4)
Jawaban
terhadap pertanyaan di atas memunculkan pengetahuan lain; (1) cantik itu hadir
apa adanya, cantik itu ada karena Tuhan menghadirkan kecantikan; pengetahuan
ini merujuk kepada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Hadirnya
kepercayaan yang dikemas dalam institusi ‘agama’. Pada pertanyaan (2) apakah
cantik, akan menghadirkan sebuah tata nilai (aksiologi) pada suatu karya.
Dengan demikian mana yang disebut indah dan cantik, pada suatu karya atau kita
membuat agar karya itu indah. Indah bisa dibuat oleh semua orang, dengan indah
seseorang akan tertarik. Atau indah itu hadir kalau kita berpikir tentang
indah. Melalui studi penataan unsur visual (artistik) akan menghadirkan objek
indah, jadi terdapat indah asli dan indah yang sengaja diciptakan. Namun,
perkembangan berpikir menjadikan subjektivisme muncul: apakah benar-benar indah
yang disenangi seluruh orang yang melihat, atau karena hanya orang yang sedang
mengamati menyatakan indah. Pemikiran kritis ini menghadirkan Psikologi yang
mengupas minat, persepsi dan imajinasi. Bahasan akan berlanjut dari sisi
psikologi. Pada kesempatan ini orang menyatakan indah disebabkan mempunyai rasa
senang terhadap tipe wajah yang menjadi objek karya seni rupa. Di sinilah hadir
konsep Sosiologi; ilmu yang mengupas tentang indahnya suatu objek yang
diamati kelompok masyarakat. Sekelompok
masyarakat yang membentuk komunitas ini secara bersama mempunyai pandangan yang
sama terhadap idola wanita yang cantik(4). Pandangan yang sama akhirnya dikemas
menjadi hukum tradisi (hegemoni) dan akhirnya muncul dalam kaitan berpikir
sektoral atau tribalisme (kesukuan).
Uraian
ini merupakan gambaran, bahwa kajian filsafat terhadap drawing menghadirkan pengetahuan yang kompleks. Maka dalam
ensiklopedia Britanica dikatakan:
“ As an
artistic endeavour, drawing is almost as old as mankind. In an instrumental,
subordinate role, it developed along with the other arts in antiquity and the Middle
Ages. Whether preliminary sketches for mosaics and murals or architectural
drawings and designs for statues and reliefs within the variegated artistic
production of the Gothic medieval building and artistic workshop, drawing as a
nonautonomous auxiliary skill was subordinate to the other arts. Only in a very
limited sense can one speak of centres of drawing in the early and High Middle
Ages; that is, the scriptoria of the monasteries of Corbie and Reims in France,
as well as those of Canterbury and Winchester in England, and also a few places
in southern Germany, where various strongly delineatory (graphically
illustrated) styles of book illumination were cultivated.”
Uraian
ini memberikan arti bahwa berangkat dari kajian sejarah penciptaan karya seni, drawing mengalami pasang surut arti dan
mafaatnya. Terkait dengan prawanca di atas, Thomas
Buser, (2015) menegaskan bahwa drawing tersebut menjadi daar pengetahuan semua ilmu dan terutama
ketika akan menjadi sebuah kurikulum Pendidikan Seni. Drawing adalah ilmu dasar berkarya seni; secara fisik akan melatih
pengamatan dan meneruskan dalam berfilsafat (berpikr kritis) dan menghendaki
ilmu bantu yang lain seperti Perspektif, Anatomi Plastik, dan bahkan Biologi
dan Mekanika.
Dalam Pendekatan Ontologis
Istilah
ontologi yang digunakan untuk mengupas persoalan drawing ini adalah sebuah pengetahuan yang mempelajari sifat dasar
sebuah wujud (rupa) suatu objek; di dalamnya menelusuri asal usul ‘rupa’ tadi.
Teori ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636
M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis.[2]
Oleh karenanya, ontologi menjelaskan entitas wujud (rupa) suatu objek konteks
kategori logis, seperti: objek fisik, asumsi universal dan abstraksinya suatu
bentuk. Membongkar bentuk secara ontologi dalam bab ini akan dimulai dengan
membongkar apa sebenarnya bentuk dan mengapa gambar menjadi menarik ketika
dikupas secara ontologi.
Persoalan
drawing lebih berkembang daripada
dunia Timur, karena kehadirannya tidak mengait dengan sistem kepercayaan. Drawing yang hadir murni dari pikiran
representasi bentuk dalam wajah dua dimensional. Sehingga seniman tidak
dituntun oleh aturan kepercayaan (agama). Sekularitas ini memberikan gambaran
bahwa bentuk merupakan suatu yang hakiki. Pandangan seperti ini telah dimulai
sejak Speusippos (408 – 339 SM) ketika mengomentari pendapat Pitagoras (lihat waterfield,
2000:11): “things that were similar and
compatible and incommansurate had to connected by this kind of harmony, if They
are to persist in an ordered universe”. Sebagai contoh keteraturan yang
diubngpkan Pitagoras adalah bentuk sempurna dengan rumus yang dimulai dari
titik. Jika dua buah titik dihubungkan akan mengesankan sebuah garis; demikian
pula jika tiga titik akan menjadi bentuk segitiga. Perkembangan dari 1, 2, 3
titik menghasilkan persepsi bentuk yang lain.
Metafisika
ini bisa dilanjut dengan rumus 1, 2, 3, 4, 5 akan memperoleh fraktal yang
sangat kuat mengembangkan imajiniasinya. Titik satu mengembangkan 2 titik dan
seterusnya sebenarnya akan kembali kepada hitungan 0 (kosong), 1 + 2 + 3 + 4 =
10 atau 0. (0 adalah kesempurnaan), maka angka yang tertinggi adalah 9
karenanya dicontohkan pada 9 titik manusia.
Segitiga
ini selanjutnya (abad 20) disebut segitiga Fraktal bersifat solid.
Uraian ini memberikan pelajaran tata
cara menggambar, bahwa kesempurnaan drawing
mempunyai presisi tinggi. Ketepatan bentuk yang dianggap akan menyamakan
pikiran mansuia ketika melihatnya akan memberi kesan berbeda; oleh karenanya drawing yang bergambar sama dengan objek
yang dihadapi akan memberi kesan yang berbeda. Lihat 10 titik di atas, seseorang
bisa merubahnya menjadi pola jika menghubungkan beberapa titik menghasilkan
bukan segitiga. (silakan dicoba). Itulah ketika abad 14 M satu objek akan
divisualisasikan berbeda: patung, lukis maupun menggambar dan ilustrasi.
Jadi drawing
jika didekati dengan studi sosial menghasilkan keputusan yang berbeda;
apalagi objektivikasi bentuk akan memberikan gambaran yang berbeda.
Meretas
Drawing Untuk Pendidikan
Plato memberikan dasar pengetahuan yang
cukup luas dalam mengungkan esensi sebuah drawing.
Ternyata pengertian tersebut dikembangkan dengan visi yang berbeda oleh
muridnya Aristoteles; pandangan realitas yang disebut dengan Ars Imitatur Naturam tidak saja
persoalan kemampuan mata, melainkan realitas dalam visinya. Pandangan terhadap
realitas yang alami itu dikatakan oleh Hegel: ”Alam itu sebagai ‘ruh tidur’ (schlafender geist), karena itu
keibndahan alam adalah keindahan yang tidak lengkap dan tidak sempurna.”
(Fitzgerald K Sitorus, 2005:20). Kemudian, analog dengan konsep alam muncul
pertanyaan: ‘Apakah drawing wanita
cantik itu sebenarnya bisa menyenangkan orang yang melihat?’ gambar dapat
dimaknai banyak. Bred dalam laguunya ‘If’
mengatakan ‘a picture paints thousand
words’; jadi dalam pandangan orang lain sebuah drawing akan menjadi banyak
arti. Selanjutnya Aristoteles menyatakan sebagai ‘debat realitas’. Wiryomartono
mengungkapkan;
“ Realitas bagi
Aristoteles sudah tersedia dan tidak perlu dipersoalkan sebagai permasalahan
orang ke orang. Plato sebaliknya, realitas berbeda dengan fakta dan aktualitas
dan sebab apa yang ada tidak selalu cocok, dipahami, dan disetujui oleh pikiran
dan perasaan orang. Semua yang ada dan tidak dimengerti bagi Plato bukanlah
realitas’. (2001:17).
Pernyataan
ini menandakan adanya perbedaan pandangan seorang seniman seperti Plato dengan
ilmuwan Aristoteles dan secara epistemologi gagasan dalam drawing dapat dilihat dari beberapa arah. Ternyata ilmu pasti juga
memberikan makna sebuah drawing, tidak
hanya persoalan sosial saja. Selanjutnya pandangan keilmuan terhadap drawing menemukan kategori ilmiah:
substansi, kuantitas, kualitas, hubungan/relasi, persoalan waktu, ruang
(tempat), perilaku atau kegiatan, dan kepasifan (Wiryomartono: 2001: 17-18).
Kategori ilmiah ini untuk menyatakan sebuah drawing
mempunyai ‘kebenaran’. Demikian pula ketika Plato menyatakan kebenaran
bukan sebuah persamaan saja melainkan kebenaran yang hakiki yaitu kejujuran. Kebenaran
jujur ini mejadi titik sentral dari pendidikan seni sebagai istilah Logico Aestheticus (Hajar Pamadhi, 2012:
36). Dua persoalan ini dihadapkan kepada dunia pendidikan; drawing akan melatihkan kejujuran (Logico Aestheticus) dan kebenaran (Logico Mathematicus); karena seorang guru yang tampil di depan
kelas hanya mengerjakan tugas memberikan instruksi ‘menggambar’.
Dua
kategori keberadaan drawing yang
dimanfaatkan dalam pendidikan: kebenaran dan kejujuran. Kebenaran dapat dilihat
dari keberadaan drawing yang dikupas
dari 8 kategori ilmiah: (1) ketika seorang guru menghadapkan objek; sebenarnya
objek itu apa; bejnda mati atau hidup, apa arti mati dan hidup (berpikir
substansi), (2) seberapa besar, berat pertanyaan kuantitas. (3) kemudian objek
benda tersebut hitam atau putih adalah persoalan kualitas. (4) samakah objek
yang dilihat dengan benda yang dipunyai dan berada di rumah (pengetahuan
relasi/hubungan); (5) Jika sama dengan yang dipunyai objek tersebut hadir atau
dibuat kapan adalah persoalan waktu. (6) objek tersebut dibuat atau berasal
dari mana (ruang/tempat), (7) bagaimana cara mengkreasi (mencipta) adalah
persoalan sistem, metoda, kegiatan (perilaku/kegiatan) sekaligus menemukan (8)
sistem. (9) pasti seseorang akan menelusuri tentang tujuan: mengapa benda atau
objek tersebut harus dibuat (berpikir kritis). (10) Adakah pengetahuan yang
dibutuhkan dalam pembuatan suatu objek atau benda tersebut; jika objek hidup
akan meneruskan mengapa harus dihadirkan adalah sebuah kepercayaan (agama).
Persoalan
berikutnya, sudahkah kegiatan drwaing ini
dipahami oleh seorang guru? Sebenarnya ini merupakan kegunaan drawing dalam berkehidupan dan bersosial
(Raiso d’etre). Pendidikan drawing didunia
ilmiah maupun sosial. Kehadiran drawing sangat
dibutuhkan dalam kehidupan dan oleh karenanya Herbert Read menyatakan education through art. Jadi pelajaran drawing sangat penting sebagai permulaan
mengajarkan seni rupa yang lain, dalam ensiklopedia Britanica dikemukakan sejarahn
manfaat drawing:
“ In the
West, the history of drawing as an independent artistic document began toward
the end of the 14th century. If its development was independent, however, it
was not insular. Just as the greatest draftsmen have been for the most part
also distinguished painters, illustrators, sculptors, or architects, so the
centres and the high points of drawing have generally coincided with the
leading localities and the major epochs of the other arts.” (https://www.britannica.com/art/drawing-art/History-of-drawing).
Berangkat
dari uraian ini jelas sekali bahwa dasar pengembangan visi seseorang adalah drawing, dan jika dimanfaatkan dengan
pengetahuan yang sebenarnya, seorang guru dapat memberikan argumentasi
perdebatan: ‘mengapa drawing harus
dijadikan perbendaharaan pengetahuan, dan mengapa drawing bisa mengungkap pengetahuan pasti dan sosial yang ada di
dalamnya. Lebih-lebih jika drwaning
figure, persoalan kepercayaan akan menguat, bukan justru ditinggalkan.
Estetika
Drawing Jaman Klasik menuju
Modernisme dan Posmodernime
Uraian
terakhir ini menunjukkan drawing merupakan
persoalan estetika (keindahan) merupakan basis dari kehadiran sebuah karya
seni. Jika pandangan berikutnya drawing sebagai
karya seni terdapat persoalan yang mendasar; namun juga menjadi tumpuan dasar.
(1) ketika drawing itu menjadi
‘pengetahuan umum’ maka di dalamnya memuat 10 makna dalam berkehidupan, berarti
drawing sebagai pengetahuan dasar
manusia. (2) drawing juga dapat
digunakan untuk mendasari seseorang berkomunikasi maka perkembangan drawing menjadi ilustrasi. Peran
ilustrasi adalah menjelaskan hal yang terungkap dalam kalimat yang belum jelas.
Di samping itu estetika yang dihadirkanpun juga harus memakna. (3) Persoalan
berbeda dari uraian ini adalah drawing menjadi
sebuah karya seni; persoalan estetika menjadi sangat individual. Persoalan yang
muncul adalah terjadinya perdebatan kelahiran drawing as fine art, dan as
minor art. Persoalan ini diungkapkan oleh Svasek (2007:155).
Perkembangan
berpikir seniman dalam berulah seni semakin variatif. Drawing menjadi kokoh ssebagai karya seni, maka yang diutamakan
adalah ide, gagasan, kreasi dan ekspresi. Hasilnya berupa drawing imagination. Persoalan ini akan meninggalkan sejarah
keberadaan drawing sepeerti
sediakala. Drawing adalah sebuah
media untuk memberikan ruang ekspresi, yang berisi bentuk figure atau nonfigurative;
jadinya abstrak figuratif. Di sinilah Surealisme diakui sebagai drawing manakala kekuatan garisnya.
Honore Daumier pernah melakukan perjalan drawing
sebagai ilustrasi sindiran (satire) yang dianggap sebagai karikaturis (1879).
Seniman Perancis ini menggambar sindiran tokoh kerajaan yang dianggap tidak
memberikan kemaslahatan rakyatnya. Difambarkan seseorang dengan perut besar dan
menjilat kekayaan rakyatnya. Sindioran ini sempat menjadi perdebatan peran seni
dalam kehidupan.
A lithograph of Daumier's Gargantua (1831) (https://en.wikipedia.org/wiki/ Honor%C3%A9_Daumier#/media/File:Honor%C3%A9_Daumier_-_Gargantua.jpg
Drawing
menjadi
sebuah karya seni menjadi perdebatan antara Marcel Duchamp, Carl Andre dan Jean
Arp yang diungkapkan oleh Michael Carter:
“ Marcel
Duchamp: shifted the epicentre of art
from making an object to choosing an object and so question the distinction
between art and non art-objects.
Jean Arp: consciously used the operations of change to
construct his image and so moved Art away from being the outcame of the work of
the artist as a highly trained decision maker in the domain of the aesthetic.
Carl Andre: by delebrately using randomness in the work of Art
mounts a cirticsm of the work as a site of order and structure. (Carter, 1990:
17)
Perdebatan
ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan visi drawing, dari menggambar sebagai media meditasi dalam riual
kepercayaan, menjadio sebuah karya seni dan sebagai mendia pengembangan ide
kreatif dalam menciptakan produk seni terapan. Estetika menjadi berkembang
sejak masa partulis, tulis awal dan klasik sampai dengan pernyataan bersama drawing sebagai dasar berkehidupan
maupun sebagai karya seni murni. Estetika menjadi variatif, tidfak saja pada
karya melainkan sudah berubah, seiring dengan subjek seni yang berada pada
penikmatnya. Perkembangan posmodern ini yang menjadikan drawing lebih luas jangkauannya, sebagai karya seni murni, seni
ilustrasi maupun sebagai pendukung seni terap (minor art).
Penutup
Bertolak
dari uraian di atas, drawing semakin
mempunyai kedudukan strategis dalam pembelajaran seni di sekolah umum maupun
khusus. Michael Carter masih menguatkan dalam perbandian seni yang transvisual
ini drawing menjamah teknologi
digital dan menghasilkan drawing
animation, jangkauan untuk membantu inter-relasi dalam pendidikan semakin
tinggi, namun sekaligus juga menjajah budaya yang ada. Sebagai bagian dari
implementasi budaya visual, drawing dapat
dimanfaatkan untuk mempengaruhi masa. Oleh karenanya dengan pemahaman serentak,
para guru seni dan calon guru seni dapat menghadirkan drawing dalam posisi yang tepat. Semoga uraian ini dipahami sebagai
khasanah pengetahuan drawing yang
ditinjau dari pemikiran kritis (filsafat).
Daftar
Pustaka
Bagoes
P. Wiryomartono., 2001, Pijar-Pijar
Penyingkap Rasa: sebuah wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai Derrida, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Carter,
Michael., 1990, Introducing Theory
Framing and the Visual ImageArt: Trans Visual Studies, hale&Iremonger,
Sydney, Australia.
Fitzgerald,
K. Sitorus, 2005, Estetika Hegel dalam Ikunci-kunci Estetika: Filsafat Seni, Galang Press, Yogyakarta.
Hajar
Pamadhi, 2012, Pendidikan Seni: Hakikat,
Kurikulum Pendidikan Seni, Habitus Seni dan Pengajaran Seni Untuk Anak, UNY
Press, Yogyakarta.
Hauskeller, Michael., 2015, Seni Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto, Kanisius,
Yogyakarta.
Svasek,
Maruska., 2007, Antropolgy, Art and
Cultural Production, Pluto Press, London.
https://en.wikipedia.org/wiki/Honor%C3%A9_Daumier#/media/File:Honor%C3%A9_Daumier_-_Gargantua.jpg
[2] Ontologi berasal dari bahasa Yunani,
yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan
logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu
pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar