Senin, 23 Oktober 2017

Drawing dalam Konfigurasi Pendidikan Seni: dalam Pandangan Filsafat. oleh Hajar Pamadhi

I would like to suggest here that drawing serves as the necessary base or core for art and is the most direct means of studying the theoretical basis of aesthetic experience.( Thomas Buser, 2015)

Pendahuluan
Pandangan filsafat yang dimaksudkan pada judul di atas adalah sebuah cara berpikiran kritis; membongkar objek dari tiga pikiran: esensi, substansi dan radikal. Pandangan kritis ini menempatkan objek dalam triperkara, epistemologi, ontologi dan aksiologi. Objek yang dipandang dalam ranah epistemologi diretas kulit luarnya dan dikupas isi maknanya sehingga kupasan itu memberi esensi makna yang sesungguhnya. Jadi sebuah kupasan filsafat (epistemologi) akan memberikan makna sesungguhnnya objek tersebut. Namun ketika makna terungkap dari suatu objek seseorang akan menanyakan ‘mengapa hal ini bisa bermakna’ maka persoalan ontologi akan menjawabnya. Demikian pula ketika makna itu telah terungkap seberapa besar kemaknaan itu bernilai guna pada manusia (aksiologi).
Drwaing dikupas secara filsafat dalam tulisan ini ingin mencoba mencari arti sesungguhnya, baik dari segi perkataan(etimologi) maupun terminologi. Melalui penelusuran makna radikal (mencari haikat kenyataan) menemukan makna untuk pendidikan (aksiologi). Kupasan yang lebih dalam dilihat dari sejarah kehadiran (metafisika) dan menjadikan keberadaan drawing sebagai dasar berkarya dan berpikir tentang hidup (ontologi). Untuk mengungkapkan substansi drawing ini konteks kehidupan dilandasi oleh pengetahuan lain agar menemukan persoalan drawing dalam kehidupan ilmu, pengetahuan dan kehidupan manusia. Sebab sampai sekarang drawing hanya dipandang sebagai gambar yang ‘hanya dilihat, bukan diketahui’.
Persoalan Objektivikasi Drawing
Ketika Plato merujuk gambar yang sempurna adalah gambar yang mampu mereprsentasikan objek secara nyata. Sebagai sebuah representasi, gambar harus menujukkan esensi dan substansi objek (Hajar Pamadhi, 2012: 54). Objektivikasi menjadi terfokus kepada material yang mempunyai kesamaan ide dengan objeknya (Hauskeller, 2015: 10). Menandakan hadirnya persepsi ‘seni realistik’. Kondisi ini seirng dengan perkembangan berpikir kritis, karena ukuran kesempurnaan berpikir adalah kenyataan. Kenyataan atau realistik tersebut menghendaki alat atau instrumen untuk mengukur keindahan suatu objek adalah ‘mata’. Disinilah kehadiran estetika kanonik atau estetika keterukuran, karena instrumen objektif akan menghasilkan keindahan objektif. Keindahan objektif yang dimaksudkan adalah keindahan yang dapat diamati, dinilai serta dipandang sama oleh semua orang yang melihat. Itulash hadirnya pameo ‘Ars Imitatur Naturam’, seni harus mirip dengan objek alaminya.  Tentu saja rujukan utama adalah’Drawing’.
 Drawing menjadi bagan dasar orang berpengetahuan karena di dalam drawing hadir pengetahuan lain. Dari sinilah orang mulai mengembangkan logika (berpikir filsafat krits) terhadap segala macam objek. Melalui triperkara filsafat (epistemologi, ontologi dan aksiologi) akan menemukan pengetahuan lain. Misalnya pendekatan secara ontologis (hakikat substansi): drawing itu hakikatnya adalah mengamati secara mendetail suatu bentuk dan akan menyangkutkan pemikiran dari sudut pandang ilmu dan pengetahuan yang lain terhadap pengamatan wajah seorang wanita (keplastisan tubuh manusia - dalam drawing models) menghadirkan pertanyaan:
-          Mengapa wanita mempunyai wajah cantik? (1)
-          Kemudian: apakah cantik itu? (2) Apa karena seseorang yang tertarik atau memang wajah tersebut mempunyai elemen visual yang menghadirkan cantik? (3)
-          Apakah semua orang yang melihat akan merasakan cantiknya paras seorang wanita.(4)
Jawaban terhadap pertanyaan di atas memunculkan pengetahuan lain; (1) cantik itu hadir apa adanya, cantik itu ada karena Tuhan menghadirkan kecantikan; pengetahuan ini merujuk kepada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Hadirnya kepercayaan yang dikemas dalam institusi ‘agama’. Pada pertanyaan (2) apakah cantik, akan menghadirkan sebuah tata nilai (aksiologi) pada suatu karya. Dengan demikian mana yang disebut indah dan cantik, pada suatu karya atau kita membuat agar karya itu indah. Indah bisa dibuat oleh semua orang, dengan indah seseorang akan tertarik. Atau indah itu hadir kalau kita berpikir tentang indah. Melalui studi penataan unsur visual (artistik) akan menghadirkan objek indah, jadi terdapat indah asli dan indah yang sengaja diciptakan. Namun, perkembangan berpikir menjadikan subjektivisme muncul: apakah benar-benar indah yang disenangi seluruh orang yang melihat, atau karena hanya orang yang sedang mengamati menyatakan indah. Pemikiran kritis ini menghadirkan Psikologi yang mengupas minat, persepsi dan imajinasi. Bahasan akan berlanjut dari sisi psikologi. Pada kesempatan ini orang menyatakan indah disebabkan mempunyai rasa senang terhadap tipe wajah yang menjadi objek karya seni rupa. Di sinilah hadir konsep Sosiologi; ilmu yang mengupas tentang indahnya suatu objek yang diamati  kelompok masyarakat. Sekelompok masyarakat yang membentuk komunitas ini secara bersama mempunyai pandangan yang sama terhadap idola wanita yang cantik(4). Pandangan yang sama akhirnya dikemas menjadi hukum tradisi (hegemoni) dan akhirnya muncul dalam kaitan berpikir sektoral atau tribalisme (kesukuan).
Uraian ini merupakan gambaran, bahwa kajian filsafat terhadap drawing menghadirkan pengetahuan yang kompleks. Maka dalam ensiklopedia Britanica dikatakan:
 “  As an artistic endeavour, drawing is almost as old as mankind. In an instrumental, subordinate role, it developed along with the other arts in antiquity and the Middle Ages. Whether preliminary sketches for mosaics and murals or architectural drawings and designs for statues and reliefs within the variegated artistic production of the Gothic medieval building and artistic workshop, drawing as a nonautonomous auxiliary skill was subordinate to the other arts. Only in a very limited sense can one speak of centres of drawing in the early and High Middle Ages; that is, the scriptoria of the monasteries of Corbie and Reims in France, as well as those of Canterbury and Winchester in England, and also a few places in southern Germany, where various strongly delineatory (graphically illustrated) styles of book illumination were cultivated.”

Uraian ini memberikan arti bahwa berangkat dari kajian sejarah penciptaan karya seni, drawing mengalami pasang surut arti dan mafaatnya. Terkait dengan prawanca di atas, Thomas Buser, (2015) menegaskan bahwa drawing tersebut menjadi daar pengetahuan semua ilmu dan terutama ketika akan menjadi sebuah kurikulum Pendidikan Seni. Drawing adalah ilmu dasar berkarya seni; secara fisik akan melatih pengamatan dan meneruskan dalam berfilsafat (berpikr kritis) dan menghendaki ilmu bantu yang lain seperti Perspektif, Anatomi Plastik, dan bahkan Biologi dan Mekanika.

Dalam Pendekatan Ontologis
Istilah ontologi yang digunakan untuk mengupas persoalan drawing ini adalah sebuah pengetahuan yang mempelajari sifat dasar sebuah wujud (rupa) suatu objek; di dalamnya menelusuri asal usul ‘rupa’ tadi. Teori ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis.[2] Oleh karenanya, ontologi menjelaskan entitas wujud (rupa) suatu objek konteks kategori logis, seperti: objek fisik, asumsi universal dan abstraksinya suatu bentuk. Membongkar bentuk secara ontologi dalam bab ini akan dimulai dengan membongkar apa sebenarnya bentuk dan mengapa gambar menjadi menarik ketika dikupas secara ontologi.
Persoalan drawing lebih berkembang daripada dunia Timur, karena kehadirannya tidak mengait dengan sistem kepercayaan. Drawing yang hadir murni dari pikiran representasi bentuk dalam wajah dua dimensional. Sehingga seniman tidak dituntun oleh aturan kepercayaan (agama). Sekularitas ini memberikan gambaran bahwa bentuk merupakan suatu yang hakiki. Pandangan seperti ini telah dimulai sejak Speusippos (408 – 339 SM) ketika mengomentari pendapat Pitagoras (lihat waterfield, 2000:11): “things that were similar and compatible and incommansurate had to connected by this kind of harmony, if They are to persist in an ordered universe”. Sebagai contoh keteraturan yang diubngpkan Pitagoras adalah bentuk sempurna dengan rumus yang dimulai dari titik. Jika dua buah titik dihubungkan akan mengesankan sebuah garis; demikian pula jika tiga titik akan menjadi bentuk segitiga. Perkembangan dari 1, 2, 3 titik menghasilkan persepsi bentuk yang lain.
Metafisika ini bisa dilanjut dengan rumus 1, 2, 3, 4, 5 akan memperoleh fraktal yang sangat kuat mengembangkan imajiniasinya. Titik satu mengembangkan 2 titik dan seterusnya sebenarnya akan kembali kepada hitungan 0 (kosong), 1 + 2 + 3 + 4 = 10 atau 0. (0 adalah kesempurnaan), maka angka yang tertinggi adalah 9 karenanya dicontohkan pada 9 titik manusia.
Segitiga ini selanjutnya (abad 20) disebut segitiga Fraktal bersifat solid.


Uraian ini memberikan pelajaran tata cara menggambar, bahwa kesempurnaan drawing mempunyai presisi tinggi. Ketepatan bentuk yang dianggap akan menyamakan pikiran mansuia ketika melihatnya akan memberi kesan berbeda; oleh karenanya drawing yang bergambar sama dengan objek yang dihadapi akan memberi kesan yang berbeda. Lihat 10 titik di atas, seseorang bisa merubahnya menjadi pola jika menghubungkan beberapa titik menghasilkan bukan segitiga. (silakan dicoba). Itulah ketika abad 14 M satu objek akan divisualisasikan berbeda: patung, lukis maupun menggambar dan ilustrasi. Jadi  drawing jika didekati dengan studi sosial menghasilkan keputusan yang berbeda; apalagi objektivikasi bentuk akan memberikan gambaran yang berbeda.  
Meretas Drawing Untuk Pendidikan
Plato memberikan dasar pengetahuan yang cukup luas dalam mengungkan esensi sebuah drawing. Ternyata pengertian tersebut dikembangkan dengan visi yang berbeda oleh muridnya Aristoteles; pandangan realitas yang disebut dengan Ars Imitatur Naturam tidak saja persoalan kemampuan mata, melainkan realitas dalam visinya. Pandangan terhadap realitas yang alami itu dikatakan oleh Hegel: ”Alam itu sebagai ‘ruh tidur’ (schlafender geist), karena itu keibndahan alam adalah keindahan yang tidak lengkap dan tidak sempurna.” (Fitzgerald K Sitorus, 2005:20). Kemudian, analog dengan konsep alam muncul pertanyaan: ‘Apakah drawing wanita cantik itu sebenarnya bisa menyenangkan orang yang melihat?’ gambar dapat dimaknai banyak. Bred dalam laguunya ‘If’ mengatakan ‘a picture paints thousand words’; jadi dalam pandangan orang lain sebuah drawing akan menjadi banyak arti. Selanjutnya Aristoteles menyatakan sebagai ‘debat realitas’. Wiryomartono mengungkapkan;
“ Realitas bagi Aristoteles sudah tersedia dan tidak perlu dipersoalkan sebagai permasalahan orang ke orang. Plato sebaliknya, realitas berbeda dengan fakta dan aktualitas dan sebab apa yang ada tidak selalu cocok, dipahami, dan disetujui oleh pikiran dan perasaan orang. Semua yang ada dan tidak dimengerti bagi Plato bukanlah realitas’. (2001:17).
Pernyataan ini menandakan adanya perbedaan pandangan seorang seniman seperti Plato dengan ilmuwan Aristoteles dan secara epistemologi gagasan dalam drawing dapat dilihat dari beberapa arah. Ternyata ilmu pasti juga memberikan makna sebuah drawing, tidak hanya persoalan sosial saja. Selanjutnya pandangan keilmuan terhadap drawing menemukan kategori ilmiah: substansi, kuantitas, kualitas, hubungan/relasi, persoalan waktu, ruang (tempat), perilaku atau kegiatan, dan kepasifan (Wiryomartono: 2001: 17-18). Kategori ilmiah ini untuk menyatakan sebuah drawing mempunyai ‘kebenaran’. Demikian pula ketika Plato menyatakan kebenaran bukan sebuah persamaan saja melainkan kebenaran yang hakiki yaitu kejujuran. Kebenaran jujur ini mejadi titik sentral dari pendidikan seni sebagai istilah Logico Aestheticus (Hajar Pamadhi, 2012: 36). Dua persoalan ini dihadapkan kepada dunia pendidikan; drawing akan melatihkan kejujuran (Logico Aestheticus) dan kebenaran (Logico Mathematicus); karena seorang guru yang tampil di depan kelas hanya mengerjakan tugas memberikan instruksi ‘menggambar’.  
Dua kategori keberadaan drawing yang dimanfaatkan dalam pendidikan: kebenaran dan kejujuran. Kebenaran dapat dilihat dari keberadaan drawing yang dikupas dari 8 kategori ilmiah: (1) ketika seorang guru menghadapkan objek; sebenarnya objek itu apa; bejnda mati atau hidup, apa arti mati dan hidup (berpikir substansi), (2) seberapa besar, berat pertanyaan kuantitas. (3) kemudian objek benda tersebut hitam atau putih adalah persoalan kualitas. (4) samakah objek yang dilihat dengan benda yang dipunyai dan berada di rumah (pengetahuan relasi/hubungan); (5) Jika sama dengan yang dipunyai objek tersebut hadir atau dibuat kapan adalah persoalan waktu. (6) objek tersebut dibuat atau berasal dari mana (ruang/tempat), (7) bagaimana cara mengkreasi (mencipta) adalah persoalan sistem, metoda, kegiatan (perilaku/kegiatan) sekaligus menemukan (8) sistem. (9) pasti seseorang akan menelusuri tentang tujuan: mengapa benda atau objek tersebut harus dibuat (berpikir kritis). (10) Adakah pengetahuan yang dibutuhkan dalam pembuatan suatu objek atau benda tersebut; jika objek hidup akan meneruskan mengapa harus dihadirkan adalah sebuah kepercayaan (agama).
Persoalan berikutnya, sudahkah kegiatan drwaing ini dipahami oleh seorang guru? Sebenarnya ini merupakan kegunaan drawing dalam berkehidupan dan bersosial (Raiso d’etre). Pendidikan drawing didunia ilmiah maupun sosial. Kehadiran drawing sangat dibutuhkan dalam kehidupan dan oleh karenanya Herbert Read menyatakan education through art. Jadi pelajaran drawing sangat penting sebagai permulaan mengajarkan seni rupa yang lain, dalam ensiklopedia Britanica dikemukakan sejarahn manfaat drawing:
“  In the West, the history of drawing as an independent artistic document began toward the end of the 14th century. If its development was independent, however, it was not insular. Just as the greatest draftsmen have been for the most part also distinguished painters, illustrators, sculptors, or architects, so the centres and the high points of drawing have generally coincided with the leading localities and the major epochs of the other arts.” (https://www.britannica.com/art/drawing-art/History-of-drawing).
Berangkat dari uraian ini jelas sekali bahwa dasar pengembangan visi seseorang adalah drawing, dan jika dimanfaatkan dengan pengetahuan yang sebenarnya, seorang guru dapat memberikan argumentasi perdebatan: ‘mengapa drawing harus dijadikan perbendaharaan pengetahuan, dan mengapa drawing bisa mengungkap pengetahuan pasti dan sosial yang ada di dalamnya. Lebih-lebih jika drwaning figure, persoalan kepercayaan akan menguat, bukan justru ditinggalkan.

Estetika Drawing Jaman Klasik menuju Modernisme dan Posmodernime
Uraian terakhir ini menunjukkan drawing merupakan persoalan estetika (keindahan) merupakan basis dari kehadiran sebuah karya seni. Jika pandangan berikutnya drawing sebagai karya seni terdapat persoalan yang mendasar; namun juga menjadi tumpuan dasar. (1) ketika drawing itu menjadi ‘pengetahuan umum’ maka di dalamnya memuat 10 makna dalam berkehidupan, berarti drawing sebagai pengetahuan dasar manusia. (2) drawing juga dapat digunakan untuk mendasari seseorang berkomunikasi maka perkembangan drawing menjadi ilustrasi. Peran ilustrasi adalah menjelaskan hal yang terungkap dalam kalimat yang belum jelas. Di samping itu estetika yang dihadirkanpun juga harus memakna. (3) Persoalan berbeda dari uraian ini adalah drawing menjadi sebuah karya seni; persoalan estetika menjadi sangat individual. Persoalan yang muncul adalah terjadinya perdebatan kelahiran drawing as fine art, dan as minor art. Persoalan ini diungkapkan oleh Svasek (2007:155).
Perkembangan berpikir seniman dalam berulah seni semakin variatif. Drawing menjadi kokoh ssebagai karya seni, maka yang diutamakan adalah ide, gagasan, kreasi dan ekspresi. Hasilnya berupa drawing imagination. Persoalan ini akan meninggalkan sejarah keberadaan drawing sepeerti sediakala. Drawing adalah sebuah media untuk memberikan ruang ekspresi, yang berisi bentuk figure atau nonfigurative; jadinya abstrak figuratif. Di sinilah Surealisme diakui sebagai drawing manakala kekuatan garisnya. Honore Daumier pernah melakukan perjalan drawing sebagai ilustrasi sindiran (satire) yang dianggap sebagai karikaturis (1879). Seniman Perancis ini menggambar sindiran tokoh kerajaan yang dianggap tidak memberikan kemaslahatan rakyatnya. Difambarkan seseorang dengan perut besar dan menjilat kekayaan rakyatnya. Sindioran ini sempat menjadi perdebatan peran seni dalam kehidupan.

A lithograph of Daumier's Gargantua (1831) (https://en.wikipedia.org/wiki/ Honor%C3%A9_Daumier#/media/File:Honor%C3%A9_Daumier_-_Gargantua.jpg

Drawing menjadi sebuah karya seni menjadi perdebatan antara Marcel Duchamp, Carl Andre dan Jean Arp yang diungkapkan oleh Michael Carter:
“   Marcel Duchamp: shifted the epicentre of art from making an object to choosing an object and so question the distinction between art and non art-objects.
Jean Arp: consciously used the operations of change to construct his image and so moved Art away from being the outcame of the work of the artist as a highly trained decision maker in the domain of the aesthetic.
Carl Andre: by delebrately using randomness in the work of Art mounts a cirticsm of the work as a site of order and structure. (Carter, 1990: 17)
Perdebatan ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan visi drawing, dari menggambar sebagai media meditasi dalam riual kepercayaan, menjadio sebuah karya seni dan sebagai mendia pengembangan ide kreatif dalam menciptakan produk seni terapan. Estetika menjadi berkembang sejak masa partulis, tulis awal dan klasik sampai dengan pernyataan bersama drawing sebagai dasar berkehidupan maupun sebagai karya seni murni. Estetika menjadi variatif, tidfak saja pada karya melainkan sudah berubah, seiring dengan subjek seni yang berada pada penikmatnya. Perkembangan posmodern ini yang menjadikan drawing lebih luas jangkauannya, sebagai karya seni murni, seni ilustrasi maupun sebagai pendukung seni terap (minor art).

Penutup
Bertolak dari uraian di atas, drawing semakin mempunyai kedudukan strategis dalam pembelajaran seni di sekolah umum maupun khusus. Michael Carter masih menguatkan dalam perbandian seni yang transvisual ini drawing menjamah teknologi digital dan menghasilkan drawing animation, jangkauan untuk membantu inter-relasi dalam pendidikan semakin tinggi, namun sekaligus juga menjajah budaya yang ada. Sebagai bagian dari implementasi budaya visual, drawing dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi masa. Oleh karenanya dengan pemahaman serentak, para guru seni dan calon guru seni dapat menghadirkan drawing dalam posisi yang tepat. Semoga uraian ini dipahami sebagai khasanah pengetahuan drawing yang ditinjau dari pemikiran kritis (filsafat). 

Daftar Pustaka
Bagoes P. Wiryomartono., 2001, Pijar-Pijar Penyingkap Rasa: sebuah wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai Derrida, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Carter, Michael., 1990, Introducing Theory Framing and the Visual ImageArt: Trans Visual Studies, hale&Iremonger, Sydney, Australia.
Fitzgerald, K. Sitorus, 2005, Estetika Hegel dalam Ikunci-kunci Estetika: Filsafat Seni, Galang Press, Yogyakarta.
Hajar Pamadhi, 2012, Pendidikan Seni: Hakikat, Kurikulum Pendidikan Seni, Habitus Seni dan Pengajaran Seni Untuk Anak, UNY Press, Yogyakarta.
Hauskeller, Michael., 2015, Seni Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto, Kanisius, Yogyakarta.
Svasek, Maruska., 2007, Antropolgy, Art and Cultural Production, Pluto Press, London.
https://en.wikipedia.org/wiki/Honor%C3%A9_Daumier#/media/File:Honor%C3%A9_Daumier_-_Gargantua.jpg


[1]   Makalah disajikan dalam Seminar Drawing di Undhiksa, Singaraja – bali, 23 Oktober 2017.
[2]   Ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar