Kamis, 26 Oktober 2017

Tugas Kritik Seni - Fadhel Akbar Fauzi -15206241049

Vibration in Nature


Pencerminan dari karyanya dari sebuah Vibration in Nature yang tercipta di setiap karya Susapto Murdowo mampu menyampaikan pesan tersendiri dalam setiap karyanya. Irama berupa getaran yang dinamis, statis, dan ekspresif. Membuat elemen saling berinteraksi satu sama lain, antara pemilihan bidang, warna, maupun garis. Terlebih dengan teknik vibration yang selalu melekat dalam penciptaan karyanya memberikan kesan tertentu. Vibration yang terbentuk dengan maksud untuk menghempaskan bentuk, dengan warna
Vibration in Nature memperlihatkan rasa dalam keserasian vibration adalah keunggulan karya Susapto, dimensi berupa getaran membuat sudut pandang baru dalam lukisan, sehingga setiap komponen pembentuk bidang, warna, dan garis selalu berbaur dalam harmonisasi. Perumpamaan gelombang yang diciptakan selalu terurai dalam perambahan pancaindra, setelah bertubrukan dengan pengolahan cipta, rasa, dan karsa Susapto. Representasi visual yang di berikan di dalam  lukisan ini memperlihatkan gaya tersendiri, getaran yang tercipta setelah terurai dengan maksud yang ingin di sampaikan.
Banyak benturan yang tercipta serta pola yang lebih dominan adalah lebih menonjolkan pola vertikal dan horizontal dengan lengkung yang berirama.
Warna yang lebih dominan menggunakan warna cerah, warna yang menyegarkan untuk memberi pencerahan dengan apa yang di berikan dengan getaran yang di berikan.
Analisis dalam penglihatan orang-orang terdekat Susapto Murdowo adalah orang yang berkepribadian yang tenang, berbeda sekali dengan karya yang di ciptakan oleh sapto itu sendiri. Itu menandakan bahwa pengungkapan hal yang tidak tersampaikan hanya bisa di wujudkan dengan karyanya itu sendiri. Pengaruh penciptaan salah satunya dari Isi Jogjakarta dan ITB Bandung, tempat susapto Murdowo belajar seni lebih mendalam.  Setelah belakangan Susapto Murdowo sempat mengalami musibah itu mempengaruhi karyanya dalam terakhir.

Tugas Kritik Seni - Devi fatmawati iskandar - 15206241057

“Untukmu Ibu”



Lukisan karya sapto murdowo yg berjudul “Untukmu Ibu” ini dibuat pada tahun 1986. Yang digarap menggunakan cat minyak pada kanvas.  Lukisan karya sapto murdowo ini menampilkan subject matter seorang wanita menggunakan kebaya motif bunga dengan rambut hitam memutih digelung sederhana. Warna-warna yang di gunakan pada subject metter adalah: putih, coklat, kuning, merah muda,  dan hitam yang berpadu sempurna memvisualisasikan gambar sesuai nyata Sesosok perempuan yang di sebut” Ibu” dalam judulnya. Pada lukisan ini  Subyek pendukung pada lukisan berupa kursi berwarna putih dan dinding dengan goresan nya yng khas membentuk vibrasi lembut mewakili jiwa dari sapto murdowo.
Pada lukisan “untukmu ibu” ini pelukis seakan mengungkapkan kerinduan yang amat mendalam pada sang ibu divisualisasikan sebuah karya untuk mengungkapkan kerinduan mendalam. Dengan memulaskan warna-warna kelabu yang sendu mewakili perasaan sang pelukis dalam bentuk sebuah penghargaan visual sebagai simbol ungkapan jiwa.  Melalui lukisan “untukmu ibu” sapto murdowo menunjukkan sisi lain dalam dirinya.  Berbeda dari karya-karya sapto murdowo yang menonjolkan getaran vibrasi dengan goresan-goresan tegas berirama yang khas. Lukisan “untukmu Ibu” ini merupakan persembahan terakhir untuk mengenang sang ibu yang takkan pernah tergantikan.

Senin, 23 Oktober 2017

Tugas Kritik Seni - Putri Amalia Pusparini - 15206241010

Kritik Seni Lukis Karya Sapto Murdowo


Deskripsi:
Lukisan ini saya beri judul “Vibration” lukisan ini merupakan karya Sapto Murdowo yang berukuran 150 x 100 cm dengan menggunakan cat minyak pada kanvas yang di buat pada tahun 2011. Ini adalah lukisan abstrak ekspresionisme yang pengerjaannya di buat secara rumit dan bebas oleh pelukisnya. Lukisan ini menampilkan obyek berbentuk vibrasi yang merupakan kumpulan dari goresan-goresan ekspresif. Bentuk vibrasinya beragam, ada yang vibrasinya terlihat kecil dan rumit ada pula yang vibrasinya berukuran lebih besar. Pelukis dapat mengharmonisasikan warna gelap dan cerah secara menarik dengan gaya abstrak ekspresionismenya yang begitu mencolok.
Analisis:
Dalam berkarya Sapto Murdowo memiliki ciri tersendiri, hampir di setiap karyanya memiliki konsep vibrasi. Pada lukisan ini di gores menggunakan kuas secara detail tetapi tidak pada seluruh bidangnya, jadi hanya mengumpul di tengah saja lalu semakin lama vibrasi yang di goreskan semakin besar dan luas. Lukisan ini cenderung fokus hanya pada suatu titik, ini terlihat Sapto Murdowo seperti sedang mengekspresikan sesuatu yang rumit dan ingin terbebas dari kerumitan tersebut. Menurut Bambang Prihadi selaku teman yang sudah mengenal beliau sejak lama, Sapto Murdowo ini merupakan pelukis abstrak yang bukan berawal dari alam. Karena kebanyakan pelukis abstrak adalah yang berangkat dari alam sekitar, mereka mengamati pemandangan alam kemudian di abstrakkan pada lukisan seniman tersebut. Tapi tidak dengan Sapto Murdowo, beliau pelukis abstrak yang berawal dari perasaan. Pada masa mudanya Sapto Murdowo sering membaca koran, dan sangat tertutup dengan teori dan sangat mengandalkan perasaannya saat berkarya. Tapi setelah disaranakan oleh Bambang Prihadi,  seiring berjalannya waktu beliau mulai membuka pikirannya untuk membaca buku-buku seni dan berdiskusi dengan Bambang. Apalagi setelah beliau kuliah lagi, beliau semakin terbuka untuk mempelajari teori. Kemudian setelah itu, beliau melukis tidak lagi hanya berdasarkan perasaan tapi juga menggunakan teorinya. Dengan menggunakan kedua ilmu tersebut, lukisan beliau dari yg sebelumnya vibrasinya kecil-kecil, sekarang menjadi lebih bebas dan luas. Dengan menggabungkan perasaan dan teori tersebut, karya Sapto Murdowo semakin terlihat ekspresif dan sangat menarik. Lukisan yang di hasilkan oleh Sapto Murdowo bukanlah sebuah lukisan abstrak yang memiliki filosofi yang aneh-aneh, tapi lebih kepada lukisan yang menunjukkan ekspresi dan perasaan yang sedang beliau rasakan.

Tugas Kritik Seni - Muhammad Fajar Trianto - 12206244029


Membingkai Kesedihan dalam vibrasi
Oil on canvas, 90 cm x 70 cm (2007)
Susapto Murdowo

Warna dan Goresan
                Dalam lukisan ini teridentifikasi ada beberapa warna-warna yang disajikan Sapto Murdowo sebagai tanda dirinya ada didalamnya, yaitu warna biru gelap adalah bagian penekannnya namun bukan sebagai pusatnya, maksudnya adalah ini sebagai dasar adanya hal lain yang akan muncul setelahnya, kemudian warna merah muda yang cenderung memudar dan warna kuning muda yang juga cenderung memudar, di letakan pada bagian tengah bawah dan menghilang ke atas, memberikan kesan seakan ada tarikan dari bawah keatas, tarikan dari benda tajam yang menyayat atau mencabik-cabik kesedihan yang membelenggu dan ingin mengeluarkan potensi kegembiraan yang terselimuti kesedihan tersebut.
                Dalam goresan tadi telah di tekankan seperti sebuah sayatan benda tajam yang sebenarnya sakit namun harus dilakukan karena demi terbitnya sebuah kegembiraan setelah terjadinya hal-hal buruk tersebut. Bisa dikatakan bahwa seharusnya setelah kesedihan akan muncul kegembiraan walau pudar dan samar-samar.
Membingkai Kesedihan dalam Vibrasi
                Lukisan yang berukuran 90 cm x 70 cm (2007), menurut kisahnya di buat saat masa-masa sakitnya Sapto Murdowo, oleh kerenanya memiliki warna-warna biru gelap yang ditampilkan sebagai penekanan bahwa kesedihan adalah keseluruhan kisah atau tokoh utama dalam karya lukisan yang kita coba beri judul kembali “Membingkai Kesedihan dalam Vibrasi” namun karena sedih selalu menyimpan hadiah besarnya yaitu kebahagiaan setelah mampu melewati masa-masa sulit ini, tercermin dari warna merah muda dan kuning muda namun lebih mendekati warna pudar, sehingga bisa disebut bahwa kebahagiaan itu masih terbawa sedikit kesedihan yang akhirnya mengendap. Secara teknis lukisan ini bisa disebut menggunakan aliran abstrak, berarti karya ciptaan yang sama sekali terbebas dari ilusi atas bentuk-bentuk di alam, tetapi secara lebih umum, adalah seni di mana bentuk-bentuk alam itu bukan berfungsi sebagai objek ataupun tema yang harus dibawakan, melainkan sebagai motif saja. Dari sini kita bisa melihat sebuah tanda vibrasi dan warna biru tua yang menjadikan sebuah pesan terhadap kita tentang kesedihan yang di alami Sapto dan seharusnya orang yang melihat lukisan ini akan memiliki getaran yang sama karena telah menerima vibrasi dari lukisan ini. Jika melihat goresannya secara sekilas seperti kulit yang tercabik-cabik dan melihatkan isi daging didalamnya yang berdarah merah dan berlendir getah kuning. Ada luka yang mungkin tak bisa sembuh semenjak ibunya meninggal, lalu dengan sakitnya Sapto ini menjadikan tanda adanya rasa putus asa dalam memahami timbal balik vibrasi dengan dirinya sendiri, kemudian goresan ini di tekankan pada warna kulit yang biru menghitam gelap sebagai bukti lukanya yang mengendap itu talah lama membengkak dan menjadikan vibrasi-vibrasi yang dirasakan pekat namun hilang setelah terbenturkan oleh apa yang terjadi pada dirinya sendiri.
Menjadi Rasa Sedih
                Dari lukisan Sapto Murdowo yang dibuat saat ia sakit jantung dan cedera kaki membuktikan bahwa ada semangat yang sebenarnya terus tumbuh namun bertolak belakang dengan kondisi fisik yang melemah, disini membuat sebuah dilema yang pelik karena ketika seorang pendidik sekaligus seniman ini tidak bisa bergerak enerjik dalam mengajar mahasiswanya juga berkarya seni maka memunculkan rasa frustasi bahkan depresi (lihat warna biru tua) apakah vibrasi ini penting ? atau apakah hidup itu hanya seperti ini ? mungkin tak ada jawaban yang pasti, kepastian itu kita dapat dari refleksi terhadap diri kita masing-masing.



Tugas Kritik Seni - YESSICA HANA NUR FADILA - 15206241013


Memeluk-2009

SUSAPTO MURDOWO, pelukis beraliran abstrak ekspresionisme asal Yogyakarta. Pendidikan awalnya di STSRI-ASRI, Seni Lukis (1982). Kemudian pada tahun 2000, Sapto melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB), Penciptaan Seni.
Pada awal karirnya di STSRI-ASRI, kecenderungan abstrak bebas tidak berfilosofi kuat mempengaruhi gaya lukisan Sapto. Karya-karyanya kala itu berupa pengolahan unsur seni rupa dan komposisi yang dibubuhi dengan ekspresi keindahan yang bukan berangkat dari sebuah objek. Ia tidak ingin mengungkapkan makna, hanya ekspresi saja. Namun seturut berjalannya waktu, ketika Sapto menimba ilmu di Institut Teknologi Bandung, ia mulai terbuka dan lebih teratur. Serta menerima adanya teori dibalik ekspresi.
Kecenderungan abstrak yang lebih teratur dapat kita lihat pada karya Sapto yang berjudul Memeluk (2009) ini. Sapuan kuas yang ekspresif berupa vibrasi-vibrasi menghadirkan beberapa kesan visual yang khas dan otentik. Ada beberapa kecenderungan yang dapat kita lihat pada karya-karya Sapto: (1) Ia sering mencampurkan atau mengaitkan berbagai jenis warna yang bersifat kontras. Namun secara keseluruhan, ia ingin menghasilkan efek dan sensasi visual yang bersifat esensial. (2) Untuk menghasilkan komposisi yang seimbang (harmony) tak jarang  pada karya-karyanya nampak aksen atau kejutan yang cemerlang.
Sebagai langkah menelusuri  pemikiran dan penciptaan Sapto, akan saya telaah karya “Memeluk” yang menjadi penanda kekuatan gagasannya yang sudah barang tentu beberapa lainnya memiliki nilai subjektivitas yang tidak kalah kuatnya. Beberapa pola vertikal dan horizontal yang bersilangan seakan-akan ‘memproyeksikan’ emosi dan getaran perasaannya, merekam kehidupan jiwanya akan adanya cinta dan kasih sayang dari orang-orang sekitar berupa pelukan hangat, agar ia dapat semangat menghadapi berbagai cobaan yang ia alami kala itu. Getaran itu semakin kuat ia rasakan dengan adanya bentuk-bentuk vibrasi dan berbagai warna-warni penuh cita rasa.

Sebagaimana Kandinsky sebagai bapaknya teori abstrak ekspresionisme mengatakan: “hubungan dalam seni tidak selalu menjadi bagian dari kebentukan luar, tetapi didasarkan atas simpati dalam diri pada unsur makna (meaning). Kadang-kadang, mungkin sering, kesamaan pada bentuk luar akan muncul. Tapi dalam melacak hubungan spiritual hanya makna batin yang menjadi pertimbangannya”. Maka dari itu meskipun karya-karya Sapto hampir semua menggunakan pola vibrasi, namun setiap karya memiliki makna-makna tersendiri. Gaya perupaan bukan menjadi ukuran bagus atau tidaknya, sebuah karya seni bisa dipandang sebagai sebuah ungkapan perasaan pribadi senimannya

Drawing dalam Konfigurasi Pendidikan Seni: dalam Pandangan Filsafat. oleh Hajar Pamadhi

I would like to suggest here that drawing serves as the necessary base or core for art and is the most direct means of studying the theoretical basis of aesthetic experience.( Thomas Buser, 2015)

Pendahuluan
Pandangan filsafat yang dimaksudkan pada judul di atas adalah sebuah cara berpikiran kritis; membongkar objek dari tiga pikiran: esensi, substansi dan radikal. Pandangan kritis ini menempatkan objek dalam triperkara, epistemologi, ontologi dan aksiologi. Objek yang dipandang dalam ranah epistemologi diretas kulit luarnya dan dikupas isi maknanya sehingga kupasan itu memberi esensi makna yang sesungguhnya. Jadi sebuah kupasan filsafat (epistemologi) akan memberikan makna sesungguhnnya objek tersebut. Namun ketika makna terungkap dari suatu objek seseorang akan menanyakan ‘mengapa hal ini bisa bermakna’ maka persoalan ontologi akan menjawabnya. Demikian pula ketika makna itu telah terungkap seberapa besar kemaknaan itu bernilai guna pada manusia (aksiologi).
Drwaing dikupas secara filsafat dalam tulisan ini ingin mencoba mencari arti sesungguhnya, baik dari segi perkataan(etimologi) maupun terminologi. Melalui penelusuran makna radikal (mencari haikat kenyataan) menemukan makna untuk pendidikan (aksiologi). Kupasan yang lebih dalam dilihat dari sejarah kehadiran (metafisika) dan menjadikan keberadaan drawing sebagai dasar berkarya dan berpikir tentang hidup (ontologi). Untuk mengungkapkan substansi drawing ini konteks kehidupan dilandasi oleh pengetahuan lain agar menemukan persoalan drawing dalam kehidupan ilmu, pengetahuan dan kehidupan manusia. Sebab sampai sekarang drawing hanya dipandang sebagai gambar yang ‘hanya dilihat, bukan diketahui’.
Persoalan Objektivikasi Drawing
Ketika Plato merujuk gambar yang sempurna adalah gambar yang mampu mereprsentasikan objek secara nyata. Sebagai sebuah representasi, gambar harus menujukkan esensi dan substansi objek (Hajar Pamadhi, 2012: 54). Objektivikasi menjadi terfokus kepada material yang mempunyai kesamaan ide dengan objeknya (Hauskeller, 2015: 10). Menandakan hadirnya persepsi ‘seni realistik’. Kondisi ini seirng dengan perkembangan berpikir kritis, karena ukuran kesempurnaan berpikir adalah kenyataan. Kenyataan atau realistik tersebut menghendaki alat atau instrumen untuk mengukur keindahan suatu objek adalah ‘mata’. Disinilah kehadiran estetika kanonik atau estetika keterukuran, karena instrumen objektif akan menghasilkan keindahan objektif. Keindahan objektif yang dimaksudkan adalah keindahan yang dapat diamati, dinilai serta dipandang sama oleh semua orang yang melihat. Itulash hadirnya pameo ‘Ars Imitatur Naturam’, seni harus mirip dengan objek alaminya.  Tentu saja rujukan utama adalah’Drawing’.
 Drawing menjadi bagan dasar orang berpengetahuan karena di dalam drawing hadir pengetahuan lain. Dari sinilah orang mulai mengembangkan logika (berpikir filsafat krits) terhadap segala macam objek. Melalui triperkara filsafat (epistemologi, ontologi dan aksiologi) akan menemukan pengetahuan lain. Misalnya pendekatan secara ontologis (hakikat substansi): drawing itu hakikatnya adalah mengamati secara mendetail suatu bentuk dan akan menyangkutkan pemikiran dari sudut pandang ilmu dan pengetahuan yang lain terhadap pengamatan wajah seorang wanita (keplastisan tubuh manusia - dalam drawing models) menghadirkan pertanyaan:
-          Mengapa wanita mempunyai wajah cantik? (1)
-          Kemudian: apakah cantik itu? (2) Apa karena seseorang yang tertarik atau memang wajah tersebut mempunyai elemen visual yang menghadirkan cantik? (3)
-          Apakah semua orang yang melihat akan merasakan cantiknya paras seorang wanita.(4)
Jawaban terhadap pertanyaan di atas memunculkan pengetahuan lain; (1) cantik itu hadir apa adanya, cantik itu ada karena Tuhan menghadirkan kecantikan; pengetahuan ini merujuk kepada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Hadirnya kepercayaan yang dikemas dalam institusi ‘agama’. Pada pertanyaan (2) apakah cantik, akan menghadirkan sebuah tata nilai (aksiologi) pada suatu karya. Dengan demikian mana yang disebut indah dan cantik, pada suatu karya atau kita membuat agar karya itu indah. Indah bisa dibuat oleh semua orang, dengan indah seseorang akan tertarik. Atau indah itu hadir kalau kita berpikir tentang indah. Melalui studi penataan unsur visual (artistik) akan menghadirkan objek indah, jadi terdapat indah asli dan indah yang sengaja diciptakan. Namun, perkembangan berpikir menjadikan subjektivisme muncul: apakah benar-benar indah yang disenangi seluruh orang yang melihat, atau karena hanya orang yang sedang mengamati menyatakan indah. Pemikiran kritis ini menghadirkan Psikologi yang mengupas minat, persepsi dan imajinasi. Bahasan akan berlanjut dari sisi psikologi. Pada kesempatan ini orang menyatakan indah disebabkan mempunyai rasa senang terhadap tipe wajah yang menjadi objek karya seni rupa. Di sinilah hadir konsep Sosiologi; ilmu yang mengupas tentang indahnya suatu objek yang diamati  kelompok masyarakat. Sekelompok masyarakat yang membentuk komunitas ini secara bersama mempunyai pandangan yang sama terhadap idola wanita yang cantik(4). Pandangan yang sama akhirnya dikemas menjadi hukum tradisi (hegemoni) dan akhirnya muncul dalam kaitan berpikir sektoral atau tribalisme (kesukuan).
Uraian ini merupakan gambaran, bahwa kajian filsafat terhadap drawing menghadirkan pengetahuan yang kompleks. Maka dalam ensiklopedia Britanica dikatakan:
 “  As an artistic endeavour, drawing is almost as old as mankind. In an instrumental, subordinate role, it developed along with the other arts in antiquity and the Middle Ages. Whether preliminary sketches for mosaics and murals or architectural drawings and designs for statues and reliefs within the variegated artistic production of the Gothic medieval building and artistic workshop, drawing as a nonautonomous auxiliary skill was subordinate to the other arts. Only in a very limited sense can one speak of centres of drawing in the early and High Middle Ages; that is, the scriptoria of the monasteries of Corbie and Reims in France, as well as those of Canterbury and Winchester in England, and also a few places in southern Germany, where various strongly delineatory (graphically illustrated) styles of book illumination were cultivated.”

Uraian ini memberikan arti bahwa berangkat dari kajian sejarah penciptaan karya seni, drawing mengalami pasang surut arti dan mafaatnya. Terkait dengan prawanca di atas, Thomas Buser, (2015) menegaskan bahwa drawing tersebut menjadi daar pengetahuan semua ilmu dan terutama ketika akan menjadi sebuah kurikulum Pendidikan Seni. Drawing adalah ilmu dasar berkarya seni; secara fisik akan melatih pengamatan dan meneruskan dalam berfilsafat (berpikr kritis) dan menghendaki ilmu bantu yang lain seperti Perspektif, Anatomi Plastik, dan bahkan Biologi dan Mekanika.

Dalam Pendekatan Ontologis
Istilah ontologi yang digunakan untuk mengupas persoalan drawing ini adalah sebuah pengetahuan yang mempelajari sifat dasar sebuah wujud (rupa) suatu objek; di dalamnya menelusuri asal usul ‘rupa’ tadi. Teori ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis.[2] Oleh karenanya, ontologi menjelaskan entitas wujud (rupa) suatu objek konteks kategori logis, seperti: objek fisik, asumsi universal dan abstraksinya suatu bentuk. Membongkar bentuk secara ontologi dalam bab ini akan dimulai dengan membongkar apa sebenarnya bentuk dan mengapa gambar menjadi menarik ketika dikupas secara ontologi.
Persoalan drawing lebih berkembang daripada dunia Timur, karena kehadirannya tidak mengait dengan sistem kepercayaan. Drawing yang hadir murni dari pikiran representasi bentuk dalam wajah dua dimensional. Sehingga seniman tidak dituntun oleh aturan kepercayaan (agama). Sekularitas ini memberikan gambaran bahwa bentuk merupakan suatu yang hakiki. Pandangan seperti ini telah dimulai sejak Speusippos (408 – 339 SM) ketika mengomentari pendapat Pitagoras (lihat waterfield, 2000:11): “things that were similar and compatible and incommansurate had to connected by this kind of harmony, if They are to persist in an ordered universe”. Sebagai contoh keteraturan yang diubngpkan Pitagoras adalah bentuk sempurna dengan rumus yang dimulai dari titik. Jika dua buah titik dihubungkan akan mengesankan sebuah garis; demikian pula jika tiga titik akan menjadi bentuk segitiga. Perkembangan dari 1, 2, 3 titik menghasilkan persepsi bentuk yang lain.
Metafisika ini bisa dilanjut dengan rumus 1, 2, 3, 4, 5 akan memperoleh fraktal yang sangat kuat mengembangkan imajiniasinya. Titik satu mengembangkan 2 titik dan seterusnya sebenarnya akan kembali kepada hitungan 0 (kosong), 1 + 2 + 3 + 4 = 10 atau 0. (0 adalah kesempurnaan), maka angka yang tertinggi adalah 9 karenanya dicontohkan pada 9 titik manusia.
Segitiga ini selanjutnya (abad 20) disebut segitiga Fraktal bersifat solid.


Uraian ini memberikan pelajaran tata cara menggambar, bahwa kesempurnaan drawing mempunyai presisi tinggi. Ketepatan bentuk yang dianggap akan menyamakan pikiran mansuia ketika melihatnya akan memberi kesan berbeda; oleh karenanya drawing yang bergambar sama dengan objek yang dihadapi akan memberi kesan yang berbeda. Lihat 10 titik di atas, seseorang bisa merubahnya menjadi pola jika menghubungkan beberapa titik menghasilkan bukan segitiga. (silakan dicoba). Itulah ketika abad 14 M satu objek akan divisualisasikan berbeda: patung, lukis maupun menggambar dan ilustrasi. Jadi  drawing jika didekati dengan studi sosial menghasilkan keputusan yang berbeda; apalagi objektivikasi bentuk akan memberikan gambaran yang berbeda.  
Meretas Drawing Untuk Pendidikan
Plato memberikan dasar pengetahuan yang cukup luas dalam mengungkan esensi sebuah drawing. Ternyata pengertian tersebut dikembangkan dengan visi yang berbeda oleh muridnya Aristoteles; pandangan realitas yang disebut dengan Ars Imitatur Naturam tidak saja persoalan kemampuan mata, melainkan realitas dalam visinya. Pandangan terhadap realitas yang alami itu dikatakan oleh Hegel: ”Alam itu sebagai ‘ruh tidur’ (schlafender geist), karena itu keibndahan alam adalah keindahan yang tidak lengkap dan tidak sempurna.” (Fitzgerald K Sitorus, 2005:20). Kemudian, analog dengan konsep alam muncul pertanyaan: ‘Apakah drawing wanita cantik itu sebenarnya bisa menyenangkan orang yang melihat?’ gambar dapat dimaknai banyak. Bred dalam laguunya ‘If’ mengatakan ‘a picture paints thousand words’; jadi dalam pandangan orang lain sebuah drawing akan menjadi banyak arti. Selanjutnya Aristoteles menyatakan sebagai ‘debat realitas’. Wiryomartono mengungkapkan;
“ Realitas bagi Aristoteles sudah tersedia dan tidak perlu dipersoalkan sebagai permasalahan orang ke orang. Plato sebaliknya, realitas berbeda dengan fakta dan aktualitas dan sebab apa yang ada tidak selalu cocok, dipahami, dan disetujui oleh pikiran dan perasaan orang. Semua yang ada dan tidak dimengerti bagi Plato bukanlah realitas’. (2001:17).
Pernyataan ini menandakan adanya perbedaan pandangan seorang seniman seperti Plato dengan ilmuwan Aristoteles dan secara epistemologi gagasan dalam drawing dapat dilihat dari beberapa arah. Ternyata ilmu pasti juga memberikan makna sebuah drawing, tidak hanya persoalan sosial saja. Selanjutnya pandangan keilmuan terhadap drawing menemukan kategori ilmiah: substansi, kuantitas, kualitas, hubungan/relasi, persoalan waktu, ruang (tempat), perilaku atau kegiatan, dan kepasifan (Wiryomartono: 2001: 17-18). Kategori ilmiah ini untuk menyatakan sebuah drawing mempunyai ‘kebenaran’. Demikian pula ketika Plato menyatakan kebenaran bukan sebuah persamaan saja melainkan kebenaran yang hakiki yaitu kejujuran. Kebenaran jujur ini mejadi titik sentral dari pendidikan seni sebagai istilah Logico Aestheticus (Hajar Pamadhi, 2012: 36). Dua persoalan ini dihadapkan kepada dunia pendidikan; drawing akan melatihkan kejujuran (Logico Aestheticus) dan kebenaran (Logico Mathematicus); karena seorang guru yang tampil di depan kelas hanya mengerjakan tugas memberikan instruksi ‘menggambar’.  
Dua kategori keberadaan drawing yang dimanfaatkan dalam pendidikan: kebenaran dan kejujuran. Kebenaran dapat dilihat dari keberadaan drawing yang dikupas dari 8 kategori ilmiah: (1) ketika seorang guru menghadapkan objek; sebenarnya objek itu apa; bejnda mati atau hidup, apa arti mati dan hidup (berpikir substansi), (2) seberapa besar, berat pertanyaan kuantitas. (3) kemudian objek benda tersebut hitam atau putih adalah persoalan kualitas. (4) samakah objek yang dilihat dengan benda yang dipunyai dan berada di rumah (pengetahuan relasi/hubungan); (5) Jika sama dengan yang dipunyai objek tersebut hadir atau dibuat kapan adalah persoalan waktu. (6) objek tersebut dibuat atau berasal dari mana (ruang/tempat), (7) bagaimana cara mengkreasi (mencipta) adalah persoalan sistem, metoda, kegiatan (perilaku/kegiatan) sekaligus menemukan (8) sistem. (9) pasti seseorang akan menelusuri tentang tujuan: mengapa benda atau objek tersebut harus dibuat (berpikir kritis). (10) Adakah pengetahuan yang dibutuhkan dalam pembuatan suatu objek atau benda tersebut; jika objek hidup akan meneruskan mengapa harus dihadirkan adalah sebuah kepercayaan (agama).
Persoalan berikutnya, sudahkah kegiatan drwaing ini dipahami oleh seorang guru? Sebenarnya ini merupakan kegunaan drawing dalam berkehidupan dan bersosial (Raiso d’etre). Pendidikan drawing didunia ilmiah maupun sosial. Kehadiran drawing sangat dibutuhkan dalam kehidupan dan oleh karenanya Herbert Read menyatakan education through art. Jadi pelajaran drawing sangat penting sebagai permulaan mengajarkan seni rupa yang lain, dalam ensiklopedia Britanica dikemukakan sejarahn manfaat drawing:
“  In the West, the history of drawing as an independent artistic document began toward the end of the 14th century. If its development was independent, however, it was not insular. Just as the greatest draftsmen have been for the most part also distinguished painters, illustrators, sculptors, or architects, so the centres and the high points of drawing have generally coincided with the leading localities and the major epochs of the other arts.” (https://www.britannica.com/art/drawing-art/History-of-drawing).
Berangkat dari uraian ini jelas sekali bahwa dasar pengembangan visi seseorang adalah drawing, dan jika dimanfaatkan dengan pengetahuan yang sebenarnya, seorang guru dapat memberikan argumentasi perdebatan: ‘mengapa drawing harus dijadikan perbendaharaan pengetahuan, dan mengapa drawing bisa mengungkap pengetahuan pasti dan sosial yang ada di dalamnya. Lebih-lebih jika drwaning figure, persoalan kepercayaan akan menguat, bukan justru ditinggalkan.

Estetika Drawing Jaman Klasik menuju Modernisme dan Posmodernime
Uraian terakhir ini menunjukkan drawing merupakan persoalan estetika (keindahan) merupakan basis dari kehadiran sebuah karya seni. Jika pandangan berikutnya drawing sebagai karya seni terdapat persoalan yang mendasar; namun juga menjadi tumpuan dasar. (1) ketika drawing itu menjadi ‘pengetahuan umum’ maka di dalamnya memuat 10 makna dalam berkehidupan, berarti drawing sebagai pengetahuan dasar manusia. (2) drawing juga dapat digunakan untuk mendasari seseorang berkomunikasi maka perkembangan drawing menjadi ilustrasi. Peran ilustrasi adalah menjelaskan hal yang terungkap dalam kalimat yang belum jelas. Di samping itu estetika yang dihadirkanpun juga harus memakna. (3) Persoalan berbeda dari uraian ini adalah drawing menjadi sebuah karya seni; persoalan estetika menjadi sangat individual. Persoalan yang muncul adalah terjadinya perdebatan kelahiran drawing as fine art, dan as minor art. Persoalan ini diungkapkan oleh Svasek (2007:155).
Perkembangan berpikir seniman dalam berulah seni semakin variatif. Drawing menjadi kokoh ssebagai karya seni, maka yang diutamakan adalah ide, gagasan, kreasi dan ekspresi. Hasilnya berupa drawing imagination. Persoalan ini akan meninggalkan sejarah keberadaan drawing sepeerti sediakala. Drawing adalah sebuah media untuk memberikan ruang ekspresi, yang berisi bentuk figure atau nonfigurative; jadinya abstrak figuratif. Di sinilah Surealisme diakui sebagai drawing manakala kekuatan garisnya. Honore Daumier pernah melakukan perjalan drawing sebagai ilustrasi sindiran (satire) yang dianggap sebagai karikaturis (1879). Seniman Perancis ini menggambar sindiran tokoh kerajaan yang dianggap tidak memberikan kemaslahatan rakyatnya. Difambarkan seseorang dengan perut besar dan menjilat kekayaan rakyatnya. Sindioran ini sempat menjadi perdebatan peran seni dalam kehidupan.

A lithograph of Daumier's Gargantua (1831) (https://en.wikipedia.org/wiki/ Honor%C3%A9_Daumier#/media/File:Honor%C3%A9_Daumier_-_Gargantua.jpg

Drawing menjadi sebuah karya seni menjadi perdebatan antara Marcel Duchamp, Carl Andre dan Jean Arp yang diungkapkan oleh Michael Carter:
“   Marcel Duchamp: shifted the epicentre of art from making an object to choosing an object and so question the distinction between art and non art-objects.
Jean Arp: consciously used the operations of change to construct his image and so moved Art away from being the outcame of the work of the artist as a highly trained decision maker in the domain of the aesthetic.
Carl Andre: by delebrately using randomness in the work of Art mounts a cirticsm of the work as a site of order and structure. (Carter, 1990: 17)
Perdebatan ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan visi drawing, dari menggambar sebagai media meditasi dalam riual kepercayaan, menjadio sebuah karya seni dan sebagai mendia pengembangan ide kreatif dalam menciptakan produk seni terapan. Estetika menjadi berkembang sejak masa partulis, tulis awal dan klasik sampai dengan pernyataan bersama drawing sebagai dasar berkehidupan maupun sebagai karya seni murni. Estetika menjadi variatif, tidfak saja pada karya melainkan sudah berubah, seiring dengan subjek seni yang berada pada penikmatnya. Perkembangan posmodern ini yang menjadikan drawing lebih luas jangkauannya, sebagai karya seni murni, seni ilustrasi maupun sebagai pendukung seni terap (minor art).

Penutup
Bertolak dari uraian di atas, drawing semakin mempunyai kedudukan strategis dalam pembelajaran seni di sekolah umum maupun khusus. Michael Carter masih menguatkan dalam perbandian seni yang transvisual ini drawing menjamah teknologi digital dan menghasilkan drawing animation, jangkauan untuk membantu inter-relasi dalam pendidikan semakin tinggi, namun sekaligus juga menjajah budaya yang ada. Sebagai bagian dari implementasi budaya visual, drawing dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi masa. Oleh karenanya dengan pemahaman serentak, para guru seni dan calon guru seni dapat menghadirkan drawing dalam posisi yang tepat. Semoga uraian ini dipahami sebagai khasanah pengetahuan drawing yang ditinjau dari pemikiran kritis (filsafat). 

Daftar Pustaka
Bagoes P. Wiryomartono., 2001, Pijar-Pijar Penyingkap Rasa: sebuah wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai Derrida, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Carter, Michael., 1990, Introducing Theory Framing and the Visual ImageArt: Trans Visual Studies, hale&Iremonger, Sydney, Australia.
Fitzgerald, K. Sitorus, 2005, Estetika Hegel dalam Ikunci-kunci Estetika: Filsafat Seni, Galang Press, Yogyakarta.
Hajar Pamadhi, 2012, Pendidikan Seni: Hakikat, Kurikulum Pendidikan Seni, Habitus Seni dan Pengajaran Seni Untuk Anak, UNY Press, Yogyakarta.
Hauskeller, Michael., 2015, Seni Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto, Kanisius, Yogyakarta.
Svasek, Maruska., 2007, Antropolgy, Art and Cultural Production, Pluto Press, London.
https://en.wikipedia.org/wiki/Honor%C3%A9_Daumier#/media/File:Honor%C3%A9_Daumier_-_Gargantua.jpg


[1]   Makalah disajikan dalam Seminar Drawing di Undhiksa, Singaraja – bali, 23 Oktober 2017.
[2]   Ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.

Sabtu, 21 Oktober 2017

Tugas Kritik Seni - Deny Boy Ardianta -15206241044




“Lose Freedom”
Susapto Murdowo
Cat Minyak Pada Kanvas
Tahun ???

            Karya lukis dari Susapto Murdowo yang berjudul “Lose Freedom” adalah salah satu dari sekian banyak karya  beliau. Karya beraliran abstrak ini menggunakan  teknik Dry Brush. Tema yang diangkat pada karya ini adalah tema vibrasi dengan tatanan yang beraturan di bagian bawah dan yang tak beraturan pada bagian atas karyanya. Pewarnaan yang tampak pada karya yaitu warna hijau dan warna hitam kusam yang saling bertubrukan.
Dalam lukisan ini, Beliau tidak menampilkan suatu wujud asli dari suatu objek melainkan  perwujudan dari suatu objek. Dan objek yang diperwujudkan adalah sebuah objek yang tidak nyata alias tidak dapat dilihat oleh mata. Pada karya ini, Susapto Murdowo ingin menyampaikan  suatu yang dirasakan di dalam benaknya. Tergambarkan pada warna yang digunakan, yaitu hijau dan hitam kusam. Hijau sendiri adalah warna yang menggambarkan suatu ketenangan, sedangkan warna hitam menggambarkan suatu keburukan, masalah, atau hal yang tidak menyenangkan. Pada karya tersebut warna hitam seolah masuk ke dalam warna hijau, menggambarkan suatu ketenangan yang terganggu oleh masalah yang datang.
Garis-garis yang tertera menggambarkan suatu tindakan, dimana garis-garis yang terdapat di bagian atas tidak beraturan menggambarkan suatu kebebasan untuk bergerak kemanapun, sedangkan pada bagian bawah yang beraturan menggambarkan suatu kesamaan yang tidak dapat di langgar.

Dapat kita simpulkan bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh Susapto Murdowo pada karya berjudul “Lose Freedom” ini adalah ketenangan dan kebebasan yang dialaminya terenggut oleh suatu masalah yang memaksanya untuk membatasi kebebasan tersebut.  

Jumat, 20 Oktober 2017

Tugas Kritik Seni - M AADITYA DWI PUTRA - 15206241016


Title : Amorphous
Materials: Oil colour on Canvas
Size 90x70cm
My Painting 2007



Pada karya satu ini seniman memberikan judul AMORPHOUS pada lukisannya, Amorphous sendiri berarti sesuatu yang"tak terbentuk atau tidak beraturan", lukisan dengan aliran abstrak yang di ciptakan oleh Sapto rata rata menggunakan teknik yang sama yaitu brush stoke,  pada karya ini sapto menggunakan warna inti yaitu biru, kuning, oren, dengan komposisi sayang sangat msnarik, dengan menonjolkan warna kuning dan oren yang sangat memberikan kesan glow in the dark, melihat dari Story Sapto, rekan rekan seniman menyampaikan bahwa Sapto adalah orang yang dingin tapi sangat humble pada orang sekitar, pada karya ini sangat terlihat kepribadian Sapto sangat tercermin oleh adanya warna biru yang sangat tenang, pada karya inu terlihat pengrefleksian perasaan yang simpang siur takpasti, entah itu senang, sedih, marah, cinta, perasaan itu tervisualkan oleh dua warna yang berada di tengah tengah waena biru yang tenang, seakan akan menyampaikan keadaan hatinya yang sedang tak berbentuk, yang di refleksikan dengan pengkomposisian tiga warna tersebut, dilihat dari keseluruhan, Sapto sangat berpengalaman di bidang melukis, kematangan teknik, pemilihan warna, sapuan kuas yangbselalu menyimpan cerita yang sangat dalam, dan semua di visualkan pada lukisan yg berjudul "Amorphous"

Tugas kritik Seni - MALA KURNIA SARI - 15206241003


Lukisan karya Susapto Murdowo ini berjudul “Bias”. Diciptakan dengan media kanvas berukuran 30 x 40 cm menggunakan cat minyak, tahun pembuatannya sekitar tahun awal susapto menikah, lukisan ini merupakan salah satu mahar pernikahan susapto. Tetap dengan menggunakan ciri khasnya yaitu melukiskan getaran yang lembut terkesan halus, dan menggunakan warna-warna yang halus pula yaitu kuning yang membias, hijau yang mengabur, dan warna merah kecoklatan yang di sapukan lembut pada kanvas, seperti judulnya lukisan ini menyampaikan makna bias yaitu sebuah penyajian bahan yang dipenuhi prasangka, ia juga berarti kesalahan yang konsisten dalam memperkirakan sebuah nilai.  Perpaduan warna yang dikombinasikan secara konsisten dan background hitam memblok dengan teknik plakat memunculkan kesan pada getaran dengan jelas dan lembut. Karya ini menggunakan teknik sapuan kering sehingga tekstur terlihat nyata bergaris-garis menyerupai getaran. Seperti lukisan Sapto yang lain Lukisan bergaya abstrak, dengan kombinasi warna yang unik, jelas halus dan tidak saling timpa, lukisan ini berbeda karna media yang digunakan relative kecil, dilengkapi dengan pigura dari kayu yang elegan menjadi pelengkap karya.


Senin, 16 Oktober 2017

Tugas Kritik Seni - Nike Purnama Sari - 15206241053

Kritik Seni Lukisan Susapto Murdowo

Judul Karya                 : Getaran dalam Batas
Nama Seniman            : Susapto Murdowo
Bahan                          : Cat minyak diatas kanvas
Tahun pembuatan        : -

1. Deskripsi Karya
Karya berjudul “Getaran dalam Batas”, divisualisasikan dalam metafora getaran,berupa kumpulan garis sebagai material subjek yang membentuk kesatuan harmoni . Di lukisan ini, kumpulan garis terbagi dalam dua kontras warna ,dimana pada bagian bawah  kumpulan garis terlukis dalam sapuan warna gelap, dengan cipratan warna  hijau tua, hitam, dan  putih sebagai pembatas adanya kesan permukaan volume atau dimensi pada lukisan. Sedangkan untuk bagian atas lukisan, warna ditorehkan lebih terang dibanding bagian bawah, dengan ciptratan warna hijau muda, hijau sedikit tua ditambah dengan  beberapa garis yang bergerak kesana-kemari sebagai point of interest pada lukisan. Point of interst berupa beberapa garis yang  berdiri sendiri , garis berukuran lebih besar dengan cipratan warna lebih terang dari warna latarnya. seperti warna hijau hutan namun lebih cerah, hijau muda,yang beberapa diantaranya ditumpu oleh  empat garis berwarna kuning tua dan satu garis besar berwarna kuning yang berdiri sendiri.
Medium lukisan Sapto adalah cat minyak yang ditorehkan diatas kanvas,menggunakan teknik lukis plakat dengan sapuan dry brush atau sapuan kuas kering. Lukisan Sapto bergaya aliran abstraksionisme formalistic atau abstrak geometris namun tetap memperhatikan komposisi keseimbangan antar unsurnya. Proses penciptaannya telihat matang dan berhati-hati .Terlihat dari kerapihan  sapuan goresan dan permainan warna yang digunakan hingga membentuk  dimensi atau volume yang jelas.

2. Analisis
            Representasi visual ditampilkan  dalam satuan garis membentuk komposisi yang rapi dan berharmoni, mengarah pada  konsep abstrak formalistik atau abstrak geometris yang mengedepankan penyerdehanaan bentuk. Permainan warna yang baik serta sapuan halus dan rapi di setiap goresannya mencontohkan kosa kata visual yang di ciptakan untuk mengungkapkan idenya. Penggunaan unsur gelap terang, membuat lukisan terlihat bervolume dan memiliki kedalaman yang jelas. Penempatan pusat perhatian yang tepat membuat komposisi  lukisan seimbang.


3.Interpretasi
Perwujudan karya Sapto dapat  dihubungkan dengan riwayat pendidikannya, yaitu sebagai  lulusan dari SMA jurusan Ilmu Pasti dan Ilmu Alam, berkuliah di STSRI-ASRI (sekarang ISI) jurusan Seni Lukis dan mengambil pasccasarjana di ITB Bandung jurusan Penciptaan Seni. Jejak pendidikan ini mempengaruhi  pemikiran Sapto dalam  menentukan cara nya menggores lukisan, meninterpretasikan objek dan makna., saat Sapto mengemban ilmu di Institut Teknologi  Bandung yang menggunakan  pemikiran futuristik Barat maka cara berpikir Sapto pun berubah dalam meniterpretasikan objek, berbeda ketika Sapto berkuliah di ISI dimana konsep dan pemikiran yang cenderung lebih melibatkan emosi (ekspresi) dalam berkarya.
Bila ditelaah kembali, lukisan “Getaran dalam Batas” ini dibuat sekitar tahun 2007 –an, hal ini terlihat dari beberapa lukisan Sapto yang dibuat sekitaran tahun tersebut., namun hal yng membedakan adalah pada kedalaman dimensi yang dibuat. Lukisan Sapto ini cenderung kearah abtsrak formalistik atau abstrak geometris (pengaruh dari gaya seni ITB) berupa gaya abstrak yang mendayagunakan garis-garis sederhana dalam setiap torehan lukisannya, namun menyelipkan ekspresi emosi didalamnya( pengaruh gaya seni ISI) yang terlihat dari efek dimensi yang dibuat dan gerakan dinamis dari point of interest lukisan. Warna dominannya sendiri adalah hijau, bila dilihat dari psikologi warna,warna hijau sendiri mencerminkan kesuburan, kenyamanan, ketenangan dan istirahat.
Penorehan lukisan ini tidak lepas dari watak Sapto yang teliti, terlihat dari kesatuan harmoni setiap garis yang dilukis, optimis meskipun terhambat oleh kondisi fisiknya Sapto terus berkarya , penyabar, teliti dan mampu mengolah emosinya kedalam bentuk karya.
Lukisan ini memiki perbedaan dengan lukisan Sapto lain, karna torehan garis yang dilukisan mampu memunculkan efek volume atau dimensi yang jelas dan nyata, yang dibuat dengan permainan warna dan komposisi gelap terang ditiap unsur nya .


Tugas Kritik Seni - Ajeng Tita Negoro - 15206241028

“The Last Vibrations from Sapto”
Sapto Murdowo
Digital Printing dan Cat Minyak

Lukisan ini adalah karya terakhir Sapto Murdowo atau Sapto sebelum dirinya meninggal. Dengan memadukan digital printing dan dilukis menggunakan cat minyak pada backgroundnya. Lukisan-lukisan karya Sapto selalu menghadirkan “Vibration”, vibrasi atau getaran. Vibrasi atau getaran adalah gerakan bolak-balik dalam suatu interval tertentu. Pada lukisan-lukisan sebelumnya penggambaran vibrasi yang dihasilkan dari goresan kuas juga tampak berbeda pada lukisan ini. Vibrasi yang dihadirkan dalam lukisan ini terkesan tidak ada spirit saat menggoreskan kuas-kuasnya.

Hal ini pun didukung dengan penggunaan warna dalam lukisan ini, berbeda dengan lukisan-lukisan karya sapto lainnya. Kali ini Sapto menggunakan warna-warna yang terkesan sedih, gelap dan monoton seperti hijau, kuning, coklat dan hitam. Warna kuning yang seharusnya cerah, memberikan semangat, kegembiraan, keceriaan,  dan kebahagiaan. Tetapi dalam lukisan ini warna kuning yang digunakan terlihat pucat, gelap dan pudar, hal ini menandakan bahwa semangat, kegembiraan, keceriaan dan kebahagiaan sudah perlahan menghilang dari diri Sapto.

Warna coklat pun juga hadir pada lukisan ini, tepatnya pada foto diri Sapto. Entah disengaja ataupun tidak warna coklat menandakan seseorang tersebut apa-adanya, setia kawan, dan rela melakukan apapun untuk menyenangkan hati orang disekitarnya. Hal ini juga sejalan dengan dengan kebiasaan Sapto yang diungkapkan oleh beberapa teman-temannya. Dilain sisi warna coklat juga menandakan seseorang yang depresi.

Warna coklat diperkuat dengan warna hitam pada lukisan ini. Hitam menjadi dominasi disini, arti warna hitam pada lukisan ini bila saling dikaitkan dengan warna lain berarti melambangkan kesedihan, dan murung. Hal ini juga didukung oleh kondisi yang dialami Sapto sejak ditinggal mendiang ibunya dan di tahun 2007 dimana Sapto mengalami kecelakaan dan beberapa kali harus masuk ke rumah sakit.

Warna hijau tetap menjadi dominasi dalam beberapa karya Sapto, termasuk pada lukisan ini. Karena warna hijau melambangkan sifat dari diri sapto itu sendiri. Hijau memiliki arti tetang, tabah, sejuk  tetapi dibalik itu semua hijau juga melambangkan suatu kepribadian yang keras. Hal ini tercermin saat Sapto sedang marah pada anak atau keluarganya, Sapto dikatakan tidak pernah memarahi anaknya, ia memilih untuk diam. Dengan kediaman tersebut energi gelombang vibrasi dari Sapto akan sampai pada  anak atau keluarganya, dan mereka akan paham bahwa kediaman Sapto adalah suatu Kemarahan yang tersembunyi. Warna hijau juga tampak membingkai warna-warna lainnya, tentu hal ini memiliki arti yang saling berkaitan. Contohnya seperti warna hijau muda yang membingkai warna hitam dengan ditambahkan garis-garis yang menimpa warna hitam. Maknanya dibalik ketenagangan diri Sapto sebenarnya ada kesedihan yang berusaha ia tutupi. Warna hijau membingkai warna kuning dan sedikit warna hitam didalamnya, maknanya Sapto berusaha mempertahankan sedikit semangat, kegembiraan, keceriaan, dan kebahagiaan yang ia punya agar tidak tergantikan oleh kesedihan. Tetapi warna hijau yang membingkai terputus dan didiominasi warna hitam, maknanya Sapto telah berusaha mempertahankan semuanya tetapi apadaya kesedihanlah yang lebih kuat dalam menguasai diri Sapto.

EVALUASI            :
“The Last Vibration from Sapto“ adalah lukisan karya terakhir Sapto, mencerminkan apa yang sebenarnya ia rasakan pada sisa hidupnya. Dengan goresan dan warna yang ia torehkan, Sapto mencoba menceritakan pesan yang tersirat tersebut kepada siapa saja yang melihat lukisannya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Sapto dengan teknik melukis abstrak mampu menghasilkan karya-karya yang memliki makna yang dalam tentang dirinya, orang disekitarnya, serta tentang apa yang ia rasakan melalui apa yang ia sebut sebagai vibrasi, meskipun orang awam tidak bisa menangkap makna dari lukisan karya Sapto,  tetapi orang awam pun dapat memahami perbedaan spirit goresan vibrasi atau perbedaan spirit goresan dari lukisan-lukisan sebelumnya dengan spirit gorsannya pada karyanya yang terakhir ini.

Tugas Kritik Seni - Diesta Noor Shinta - 15206241045


The Stories of Vibration”
2009
Susapto Murdowo
Oil on Canvas

1.      Deskripsi
Lukisan berjudul “The Stories of Vibration” ini merupakan salah satu karya Susapto Murdowo yang dibuatnya pada tahun 2009. Subject matter yang diangkat dari dalam lukisan ini memiliki beraneka ragam bentuk bidang yang didalamnya terdapat corak vibrasi atau getaran, serta garis-garis tipis yang menggambarkan getaran yang lebih longgar. Warna kuning dan merah menjadi warna dominan yang digunakan pada subject matter. Warna lainnya seperti warna hijau muda, biru tua, hijau tua pada goresan vibrasi menjadi warna analog yang merupakan warna yang saling berdekatan satu sama lain. Sedangkan warna biru cyan dan ocean menjadi warna komplementer yang sangat mencolok, sehingga menjadi point of interest dalam hal pewarnaannya.
Unsur seni rupa yang paling mendominasi dalam lukisan ini adalah garis dan tekstur yang kemudian membentuk berbagai macam bidang seperti persegi, persegi panjang, seperempat lingkaran, elips, bahkan kombinasi dari dua atau lebih jenis bidang yang saling bertumpang tindih satu sama lain membentuk suatu bidang baru.
Teknik yang digunakan adalah teknik dry brush atau sapuan keras. Memanfaatkan brush stroke sebagai terciptanya detail tekstur dalam lukisannya yang bergaya abstrak ekspresionisme. Dalam lukisannya yang berjudul “The Stories of Vibration”, sang pelukis ingin menyampaikan berbagai kisah dalam hidupnya melalui ragam warna dan bentuk bidang tersebut.

2.      Analisis
Dibalik banyaknya macam warna dan bentuk yang ditampilkan dalam lukisannya yang bergaya abstrak ekspresionisme itu, sang pelukis lebih dulu melakukan perhitungan dan pemikiran, sehingga menghasilkan karya yang terkonsep dan tertata. Dominasi warna panas dengan warna dingin sebagai point of interest menghasilkan komposisi yang seimbang dan menarik. Detail pada tekstur serta penataan letak garis-garis tipis juga menjadi pertimbangan dalam melukiskan kisah hidupnya secara mendetail.

3.      Interpretasi
Seorang pelukis pasti ingin menyampaikan kesan, pesan, atau makna melalui karya-karyanya. Maka dari itu interpretasi atau penafsiran sangat diperlukan untuk memaknai suatu karya dengan melakukan pendeskripsian karya terlebih dahulu. Dalam mendeskripsikan suatu karya seni, pendapat orang membaca karya seni boleh saja sama tetapi dalam menafsir akan berbeda karena diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang
Dalam lukisannya yang berjudul “The Stories of Vibration” ini, Susapto ingin menceritakan berbagai getaran kisah dalam kehidupannya. Kisah yang menggembirakan, menyedihkan, menakjubkan, menegangkan, terlukis dalam warna serta bentuk bidangnya masing-masing. Namun dengan warna cerah sebagai warna dominan, mencerminkan bahwa Susapto selalu melalui kisah-kisahnya dengan optimis dan suka cita. Bercerita tidak harus secara lisan, bahkan pelukis pun bisa menceritakan banyak kisah dalam kehidupannya hanya dengan melalui lukisannya.

4.      Penilaian/Evaluasi
“The Stories of Vibration” mempunyai nilai estetika yang tinggi. Dilihat dari penataan subject matter yang sangat detail pada bagian tekstur sebagai penegas goresan vibrasinya, serta pertimbangan dalam meletakkan bidang dan pemilihan warna panas dan warna komplementer secara tepat. Selain memiliki unsur visual yang bagus, dalam lukisan ini memiliki pesan untuk selalu melalui hidup dengan baik dan penuh suka cita, apapun itu kisahnya.